Fakta ini ditemukan oleh Pusat Hidrogafi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut (Pushidrosal), lewat survei hidro-oseanografi dan investigasi di area longsoran Gunung Anak Krakatau yang dilakukan oleh KRI Rigel-933 pascatsunami dan erupsi.
Merujuk data hasil survei hidro-oseanografi Pushidrosal tahun 2016 plus data Multi Beam Echosounder (MBES) tanggal 29 dan 30 Desember 2018, terdapat perubahan kontur kedalaman (pendangkalan) mencapai 20 hingga 40 meter di perairan Selatan Gunung Anak Krakatau.
Keterangan resmi yang dikutip dari akun Instagram @TNI_Angkatan_Laut, Kepala Pushidrosal, Laksda TNI Harjo Susmoro menjelaskan, perubahan kontur kedalaman terjadi akibat tumpahan magma dan material longsoran Gunung Anak Krakatau yang tumpah ke laut.
“Selain itu dengan pengamatan visual radar dan analisis dari citra diketemukan perubahan morfologi bentuk Anak Gunung Krakatau pada sisi sebelah barat seluas 401.000 m2 atau lebih kurang sepertiga bagian lereng sudah hilang dan menjadi cekungan kawah menyerupai teluk. Pada cekungan kawah ini masih dijumpai semburan magma gunung anak Krakatau yang berasal dari bawah air laut,” tutur Harjo, dikutip Rabu (2/1/2019).
Dalam keterangan yang sama, Pushidrosal juga mendorong agar temuan ini menjadi bahan penelitian dan analisis para pakar, peneliti, ataupun akademisi. Hal ini penting sebagai rujukan informasi bagi masyarakat agar dapat memahami kondisi alam yang terjadi pascatsunami dan erupsi di perairan Selat Sunda.
“Selain itu, data batimetri, oseanografi, data layer dasar laut yang diperoleh dari peralatan sub bottom profiling (SBP) diharapkan dapat di teliti dan dianalisis lebih detail lagi oleh peneliti, pakar dan akedemisi sehingga mampu memberikan informasi kepada pemerintah serta masyarakat fenomena yang terjadi pasca erupsi dan Tsunami di perairan Selat Sunda."