Keterlibatan Prabowo dalam Tragedi 98 Versi Komnas HAM

| 16 Jan 2019 20:48
Keterlibatan Prabowo dalam Tragedi 98 Versi Komnas HAM
Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai (Mery/era.id)

Jakarta, era.id - Mantan Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai menyebut bahwa Prabowo Subianto adalah saksi dari kasus penculikan aktivis 98, bukan saksi pelaku, apalagi pelaku. Kata Natalius, pernyataan itu ia sampaikan berdasar hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM.

“Hasil penyelidikan Komnas HAM itu tidak menyatakan tegas bahwa Prabowo itu pelaku dan saksi pelaku. Tetapi Prabowo adalah saksi, bukan pelaku dan saksi pelaku,” tuturnya di Jakarta, Rabu (16/1/2019).

Lebih lanjut, Natalius justru melempar tanggung jawab terkait kasus pelanggaran HAM masa lalu tersebut kepada Menko Polhukam, Wiranto yang saat itu memimpin sebagai Panglima TNI.

“Siapa bertanggung jawab? Commander Responsibilities peristiwa 98 adalah Wiranto sesuai dengan hukum HAM internasional dan hukum HAM nasional UU 26 tahun 2000. Kenapa commandan responsibilites? Karena huru-hara peristiwa 98 itu bukan hanya dilokalisir pada tugas dan kewenangan satu kesatuan saja,” tuturnya.

“Huru-hara peristiwa adalah huru-hara nasional. Karena itu tanggung jawab pimpinan keamanan dan pertahanan nasional yaitu angkatan bersejata RI dan Wiranto,” sambungnya.

Pigai menilai, Wiranto patut diduga sebagai orang yang sangat bertanggung sebagai pelaku commandan responsibilities. Berdasarkan UU 26 tahun 2000, menurut dia, salah satu alasan pemecatan Prabowo Subianto karena pengerahan pasukan pembebasan.

“Patut diduga. Karena itu, kemudian pemecatan terhadap prabowo saya mau sampaikan, jadi Prabowo itu dipecat salah satunya karena pembebasan penyerahan pasukan, membebaskan Soeharto di Kanada. Jadi jangan kita lokalisir peristiwa 98,” terangnya.

Aktivis HAM ini mengatakan, sebagai seorang tentara, dalam hal ini jenderal, perintah tidak pernah dilakukan secara lisan. Katanya, selalu ada perintah tertulis. Apalagi, katanya, untuk melakukan pemecatan terhadap jenderal setidaknya ada tiga kesalahan yang diperbuatnya.

“Seorang jenderal menyimpan sebuah rahasia. Karena semua perintah itu selalu berdasarkan perintah tertulis apalagi perintah antar jenderal, tidak ada perintah lisan. Selalu dengan visual, juga ada catatan. Jadi ini mulai sudah jelas kan, bahwa Prabowo kok dipecat karena peristiwa 98? Tidak semata-mata itu,” tuturnya.

“Karena pemecatan seorang jenderal itu harus ada tiga kesalahan. Tidak bisa hanya karena satu kesalahan. Lalu pada saat 98 Prabowo itu bertugas apa? Penyerahan pasukan pengamanan ibu kota negara. Karena memang kenapa hasil penyelidikan Komnas HAM selalu bolak-balik ke kejaksaan, karena ini buktinya memang harus kuat kalau dilimpahkan ke pengadilan,” lanjutnya.

Piagai menilai, setiap pemerintah mudah saja tanpa bukti kuat bisa diproses. Karena, katanya, ada sarana rekonsiliasi dan perdamaian, bisa meski di peradilan. Namun, ini yang tidak dilakukan dalam pemerintahan Jokowi.

“Tapi kenapa pemerintahan Jokowi tidak mau? Karena yang melingkari Jokowi itu adalah mereka yang melakukan pelanggaran-pelanggaran berbagai kejahatan. Jadi yang melingkari Istana Negara itu mereka yang melakukan berbagai pelanggaran,” jelasnya.

Di samping itu, Pigai juga mempertanyakan mengapa pemerintahan Jokowi tidak mencoba untuk memproses kasus pelanggaran HAM masa lalu ini. Padahal, katanya, Prabowo sudah siap untuk menjalani proses ini.

“Jangan-jangan peristiwa 98 juga yang melakukan itu ada di dalam lingkaran Jokowi. Kan dari awal kita udah bilang, proses dong, wong Prabowo juga udah siap kok, dia gentleman kok. Tapi kenapa Jokowi tidak mau proses selama lima tahun (pemerintahannya),” tutupnya.

Tags : komnas ham
Rekomendasi