Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, mengatakan hal itu mengekspresikan partai politik kini dilanda krisis kepercayaan diri. Mereka mengabaikan kader-kader potensial dalam internal partai untuk maju pada Pilkada 2018.
"Benar sekali. Parpol-parpol kita entah karena genit atau tidak percaya diri, justru ajak kalangan TNI dan Polri sebagai paslon (pasangan calon) dalam Pilkada," ungkap Syamsuddin kepada era.id, Rabu (3/1/2018).
Menurut Syamsuddin, langkah partai politik itu merupakan efek dari sistem otoriter berkepanjangan di Indonesia. Dia menilai, ketika kalangan militer dianggap lebih hebat memimpin maka sistem kaderisasi partai mengalami kemunduran.
"Politisi sipil tidak percaya diri dan rendah diri, sehingga seolah-olah militer dan Polri itu hebat," lanjutnya.
Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago sependapat dengan Syamsuddin. Dia menuturkan, cara cepat partai mendapatkan sosok pemimpin melalui jalur figur yang telah dikenal. Sebab itu, saat ini, tren kaderisasi bergeser menjadi gaya mencaplok petinggi militer atau Polri untuk calon pemimpin daerah.
"Terjunnya TNI dan Polri karena parpol gagal melakukan kaderisasi. Split ticket voting adalah parpol lebih menonjolkan kandidat (figur), dibandingkan dengan partai sendiri," ucap Pangi.
Pangi berharap perwira akrif mundur dari TNI dan Polri saat memutuskan terjun ke kancah politik. Gunanya untuk mencegah penggunaan jejaring kekuasaan untuk memenangkan pilkada.
"Salah satunya adalah pencabutan dwi fungsi TNI dan Polri. Sehingga kalau mau turun ke gelanggang politik harus pensiun dini," kata Pangi.
Pangi menjelaskan, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 sangat jelas menyebutkan TNI dan Polri tidak boleh terjun ke ranah politik praktis sebagai konsekuensi tentara profesional, bukan tentara pretorian atau tentara kuda besi. Begitu juga aturan dalam pasal 9 ayat 2 UU Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menyatakan PNS tidak boleh berpolitik. Kewajiban ASN menjalankan tugas pelayanan negara, dengan melayani publik, tanpa terhambat kepentingan politik.
"Saya mengingatkan TNI atau Polri dan ASN diwajibkan menjaga netralitasnya," ucap dia.
Adapun perwira TNI yang rencananya akan terjun dalam Pilkada 2018 adalah Pangkostrad TNI Letjen Edy Rahmayadi sebagai bakal calon gubernur Sumatera Utara. Untuk memenuhi ambisinya, dia bersedia mengundurkan diri dari jabatannya. Dari Korps Bhayangkara ada Komandan Kops Brimob Irjen Murad Ismail yang didaulat PDIP untuk maju dalam Pilkada Maluku 2018.
Selain dua perwira tinggi tersebut, masih ada yang lainnya. Siapa saja mereka? Tengok infografis di bawah ini: