"Seharusnya segera setelah perdebatan terjadi itu Pak Jokowi menyatakan minta maaf. Minta maaf bahwa apa yang disampaikan itu keliru. Sayang itu tidak dilakukan," kata Siti saat menjadi pembicara dalam sebuah diskusi di Seknas Prabowo-Sandi, Jakarta, seperti dikutip Antara, Selasa (26/2/2019).
Menurut dia, sebaiknya para paslon, bila tak tahu pasti mengenai data berupa angka, lebih baik menyampaikan ke publik dengan kalimat atau diksi yang tak menimbulkan polemik, misalnya "kalau tidak salah."
"Siapapun yang menjadi capres wajib menyampaikan yang benar, dan ini yang didengar publik ketika berkata soal angka. Kalau tidak tahu, calon lebih baik kalau tidak tau katakan saja mohon maaf datanya kalau enggak salah segini agar tidak salah banget," katanya.
Menurut dia, kekeliruan data termasuk kesalahan fatal karena debat berfungsi sebagai ajang memberikan edukasi kepada masyarakat. Untuk menghindari kekeliruan serupa, Siti mengimbau pasangan capres-cawapres untuk memberi tahu publik bahwa data yang disampaikan adalah data perkiraan.
Ia pun memaklumi apabila pasangan calon menyampaikan argumen yang tidak lengkap pada saat debat capres-cawapres karena waktu untuk menjawab pertanyaan sangatlah singkat, paling lama dua menit.
"Ketika harus dua menit jawab pertanyaan apalagi dengan data, jadi bisa dipahami apa yang disampaikan capres tidak utuh. Argumen tidak utuh. Karena dalam dua menit tidak cukup," kata Siti.
Selain itu, ia berharap pada debat putaran ketiga mendatang dapat menggali substansi masalah dan tema yang didebatkan. "Kami usulkan agar kontestasi melalui debat ketiga jauh mencerahkan, edukatif, jauh dari urusan privat," ujarnya.
Selain Siti Zuhro, diskusi publik Selasaan, Topic of The Week Rezim Jokowi, Menebar Hoaks dan Kebohongan? yang digelar setiap pekan itu juga dihadiri sejumlah pembicara lainnya. Di antaranya mantan Ketua Komnas HAM Hafidz Abbas, dosen dan pengamat Tony Rosyid, Ketua DPP Partai Gerindra Habiburrokhman, dan dosen Beti Nurbaiti.