Jakarta, era.id - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan uji materi terhadap pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal presidential threshold itu tetap menggunakan hasil Pemilihan Legislatif 2014 sebagai ambang batas Pemilihan Presiden 2019.
Artinya, partai politik atau koalisi partai politik wajib mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah pada Pemilu 2014. Keputusan itu terkait pengusungan pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menyoroti keputusan MK tersebut, khususnya terkait pertimbangan dan pemaknaan MK terhadap Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945.
Menurut Fadli, pasal itu jelas mengunci dan mengatur pihak yang berhak mengajukan pasangan capres-cawapres, mereka adalah partai politik yang sudah ditetapkan oleh peserta pemilihan umum (pemilu), sebelum pelaksanaan pemilu.
"Bagi orang yang tidak belajar hukum sekalipun, akan dengan sangat mudah memahami, bahwa konstitusi mengunci dan mengatur secara jelas dan tegas (Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945)," ujar Fadli kepada era.id, Jakarta, Sabtu (13/1/2018).
Fadli menerangkan, frasa atau gabungan partai politik bersifat alternatif, dapat dilakukan partai namun sifatnya tidak wajib. Sebab itu dia menilai uji materi MK sepatutnya dilakukan. Sebabnya, Fadli menilai pasal tersebut sudah kedaluwarsa dan bersifat diskriminatif.
"Frasa pertama adalah hal yang dijamin oleh konstitusi untuk dilaksanakan. Perihal partai ingin bergabung atau membentuk koalisi dengan partai politik dalam mengusung pasangan calon presiden, itu menjadi pilihan bagi partai politik," tuturnya.
Penuturan Fadli mengarah pada pertimbangan MK dalam poin 3.14, halaman 124-125, Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945. Dia menilai MK mengalami lompatan logika yang tidak tepat. Dia menilai, partai politik sepatutnya leluasa mencalonkan capres-cawapres tanpa terkendala jumlah kursi di legislatif.
Fadli menambahkan, argumentasi MK terkait penguatan sistem presidential threshold untuk proses pencalonan presiden tidak ada hubungannya dalam teori ilmu politik. Maka, lanjut Fadli, fokus MA bukan ke frasa gabungan parpol, yang tidak dapat dipaksakan lantaran norma alternatif.
"Hakim MK yang notabene adalah negarawan yang paham hukum dan konstitusi, bergelar professor dan doktor, pastinya mahfum terhadap hal ini. Tak perlu ragukan itu. Namun, entah mengapa, lompatan logika MK ke constitutional engineering untuk penguatan sistem presidensial tiba-tiba muncul. Sesuatu yang tak disebutkan eksplisit di dalam konstitusi," tandasnya.