Penjara Penuh, Napinya Rusuh

| 13 May 2019 19:56
Penjara Penuh, Napinya Rusuh
Ilustrasi (Pixabay)
Jakarta, era.id - Kerusuhan yang berakibat kebakaran terjadi di Rumah Tahanan (Rutan) Klas IIB Siak Sri Indrapura di Riau. Tak seimbangnya kapasitas rutan dengan jumlah narapidana jadi penyebab utama. Sebuah masalah klasik, yang sayangnya belum juga terselesaikan dengan baik.

Hari ini, Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM), Yasonna Laoly meninjau rutan yang kondisinya sudah hancur. Dalam kunjungan tersebut, Yasonna menyebut Rutan Klas IIB Siak Sri Indrapura kelebihan kapasitas hingga 500 persen.

"Kita sesalkan apa yang terjadi. Ini bukan kali pertama. Hal fundamental di sini adalah persoalan kelebihan kapasitas. Di sini (kelebihan kapasitas) hampir 500 persen," tutur Yasonna dilansir Antara, Senin (13/5/2019).

Menurut Yasonna, Pemerintah Kabupaten Siak telah menyiapkan lahan seluas lima hektare untuk pembangunan lembaga pemasyarakatan (lapas) baru. Namun, rencana pembangunan hingga saat ini masih terkendala dengan pendanaan.

Atas dasar itu, Yasonna meminta Pemerintah Provinsi Riau untuk membantu pendanaan. Kata Yasonna, pemerintah pusat kewalahan menangani persoalan ini, sebab masalah kelebihan kapasitas dalam lapas tak hanya terjadi di Riau, tapi di banyak daerah di Indonesia.

"Gubernur kalau punya dana juga tidak masalah, dari bupati juga. Di sini ada banyak minyak. Dana (kami) ada, tapi ini kelebihan kapasitas di mana-mana, dana pemda juga dari Jakarta ada (berupa) dana bagi hasilnya. Ini namanya sinergitas," ungkap Yasonna.

Strategi lain yang dijalankan berbarengan dengan pembangunan lapas baru adalah merampungkan pembangunan Rutan Khusus Narkoba di Rumbai, Pekanbaru. Pembangunan rutan yang dikhususkan bagi napi narkoba itu diyakini akan mengurangi beban rutan-rutan yang saat ini telah beroperasi.

Gambaran nasional

Secara nasional, data Kemenkum HAM pada akhir 2018 mencatat kelebihan kapasitas lapas-lapas di Indonesia mencapai angka 203 persen. Pada tahun itu, Kemenkum HAM mencatat jumlah penghuni lapas sebanyak 256.273 orang, meningkat 24.197 orang dibanding tahun sebelumnya. Padahal, rata-rata lapas di Tanah Air hanya bisa menampung 126.164 narapidana.

Dipecah ke dalam kasus-kasus kejahatannya, pembengkakan jumlah narapidana terbanyak masih terjadi pada kasus narkoba, di mana 74.037 bandar dan 41.252 pengguna narkoba dijebloskan ke dalam penjara.

Baca Juga : Ketikan Cuih Berujung Maut

Setelah narkoba, kasus dengan pembengkakan jumlah napi terbanyak adalah kasus korupsi, di mana negara berhasil menjebloskan 5.110 maling uang rakyat. Selanjutnya, ada napi kasus illegal logging dengan jumlah napi sebanyak 890 orang, napi kasus terorisme (441) dan napi kasus pencucian uang (165).

Melihat tren yang tercatat, rata-rata setiap tahunnya terjadi kenaikan jumlah penghuni lapas hingga 22 ribu orang, dengan rincian 232.080 pada 2017, 204.549 pada 2016, dan 173.572 orang pada tahun 2015.

Langkah pemerintah

Dikutip dari Kompas, Tenaga Ahli Kedeputian V Kantor Staf Presiden, Ratnaningsih Dasahasta pernah menyebut bahwa pemerintah tengah menyiapkan penanggulangan ketidakseimbangan kapasitas lapas di Indonesia dalam sebuah grand design.

Belum jelas bagaimana grand design yang dikatakan Ratna. Yang jelas, grand design ini akan melibatkan seluruh instansi terkait. Ratna bilang, kelebihan kapasitas alias overcrowded di lapas-lapas nasional adalah integrated criminal justice system, di mana pertanggungjawabannya tak hanya ada di satu lembaga.

Penanggulangan terintegrasi yang dimaksud Ratna bukan cuma di tingkat penindakan, tapi juga pencegahan. Logikanya jelas, bahwa semakin sedikit kriminalitas terjadi, maka akan makin sedikit juga toh orang yang harus dipenjara?

Dengar Podcast : NGEPOD: Legalisasi Ganja, Sampai Mana?

Atau, jika kasus narkoba adalah kasus yang paling banyak menyumbang narapidana, mungkin waktunya pemerintah dan penegak hukum berhenti memenjarakan pengguna narkoba.

Bukan tanpa alasan. Sebab, sejatinya Undang-Undang (UU) dan sejumlah peraturan telah mengamanatkan bahwa pengguna dan pecandu narkoba wajib rehab. Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika misalnya, secara jelas berbunyi: Korban penyalahgunaan narkotika wajib rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Amanat UU tersebut sejatinya jelas, bahwa pecandu dan pengguna narkoba adalah korban. Dan tempat mereka, seharusnya di panti rehabilitasi, bukan di penjara.

Rekomendasi