Mendalami Fenomena Caleg Edit Foto untuk Menangi Pemilu

| 14 May 2019 19:37
Mendalami Fenomena Caleg <i>Edit</i> Foto untuk Menangi Pemilu
Ilustrasi (era.id)

Jakarta, era.id - Evi Apita Maya, calon anggota DPD, lolos ke Senayan dengan perolehan suara paling banyak di antara calon lainnya. Kemenangan Evi diprotes. Evi disebut sengaja manipulasi fotonya agar terlihat lebih cantik di kertas suara. Kami mewawancarai Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pakar politik untuk mendalami kejadian ini.

Perolehan suara Evi tak main-main. Ia berhasil mendominasi pemilihan sekaligus menumbangkan petahana di dapilnya, Nusa Tenggara Barat (NTB), Farouk Muhammad dengan mengantongi 283.932 suara. Seorang saksi dari petahana secara terang-terangan mengkritik kemenangan calon bernomor urut 26 itu.

Menurut pihak petahana, manipulasi foto yang dilakukan Evi berhasil membuatnya dipilih masyarakat. Padahal, menurut subjektivitas si saksi, rupa Evi sebenarnya jauh dari foto yang nampak di surat suara. Kekisruhan yang diceritakan langsung oleh Komisioner KPUD NTB, Syamsudin ini menunjukkan tingkat kerupawanan masih berpengaruh besar terhadap keputusan pemilih.

"Telah ditemukan terjadi dugaan pemalsuan dokumen atau gambar penggunaan foto sebagai persyaratan administrasi calon perseorangan DPD yang semestinya berdasarkan peraturan atau ketentuan yang berlaku bakal calon harus menggunakan foto terbaru maksimal enam bulan sebelum pendaftaran di KPU," ungkap Syamsudin, dikutip viva.co.id, Selasa (15/5/2019).

Evi Apita Maya (Istimewa)

Memilih yang rupawan

Analis politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Aisyah Putri Budiarti menjelaskan kejadian ini. Menurutnya, memilih wakil rakyat rupawan masih jadi kecenderungan bagi masyarakat Indonesia. Penyebabnya, tentu saja pengetahuan yang minim terhadap calon-calon yang mereka lihat di kertas suara.

"Ketika pemilih tidak memiliki pengetahuan yang cukup baik atas latar belakang caleg, maka tampilan fisik menjadi bahan pertimbangan paling mudah bagi pemilih," kata Putri kepada era.id.

Dikaitkan dengan kejadian di NTB, penjelasan Putri jadi makin masuk akal. Evi adalah caleg DPD, dan satu-satunya lembar surat suara yang menampilkan wajah calon --selain surat suara capres-cawapres-- adalah surat suara untuk DPD. Makanya, pertimbangan fisik dalam pemilihan Caleg DPD bakal lebih besar dibanding caleg-caleg di tingkat legislasi lainnya.

Entah kondisi ini telah dipertimbangkan oleh Evi atau tidak. Yang jelas menurut Putri, Evi tak melakukan pelanggaran pemilu apapun, kecuali etika politik. Meski begitu, Putri melihat Evi bukan satu-satunya caleg yang memoles rupa fisiknya.

"Tidak etis, tetapi tidak melanggar. Karena tidak diatur secara spesifik tentang 'tidak boleh diedit'," kata Putri.

Di kesempatan lain, Komisioner KPU, Ilham Saputra menanggapi kejadian ini dengan santai. Dia bilang, tak ada yang salah dari kejadian ini. Namun, Ilham mengatakan, keberatan atas kejadian ini dapat ditempuh lewat jalur hukum dengan melaporkan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

"Masalahnya apa? Pada saat penyerahan administrasi pencalonan sudah diverifikasi, dilihat juga oleh bawaslu, enggak ada masalah. Sah kok enggak ada masalah. Orang itu memang dia kok bukan foto orang lain. Nah, kalau ada yang keberatan soal hasil suara karena foto, bisa dilaporin ke bawaslu," kata Ilham.

Rekomendasi