"Yang itu (lima stasiun pantau) belum berdasar PM2.5, walaupun di 2019 katanya punya," katanya di Jakarta, seperti dikutip Antara, Selasa (18/6/2019).
Supaya kamu tahu, singkatan PM2.5 itu digunakan untuk menyebutkan partikel udara berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron yang dijadikan indikator pengukuran kualitas udara.
Bondan menyebutkan idealnya Provinsi DKI Jakarta membutuhkan 20 sampai 30 stasiun pantau untuk mengukur kualitas udara di seluruh wilayahnya.
"Bahkan, Pak Ozwar, Deputi Lingkungan Hidup DKI Jakarta, mengatakan Jakarta kalau bicara polusi udara, harusnya ada 66 alat pantau," katanya.
Apalagi, ia melanjutkan, alat pantau polusi udara memiliki keterbatasan, salah satunya dari maksimal cuma mampu menjangkau radius sekitar lima kilometer.
Bondan juga mengatakan kalau bicara soal polusi udara, maka data pengukuran kualitas udara menjadi faktor penting dalam menentukan dasar langkah atau kebijakan untuk mengatasinya.
"Bicara polusi udara, alat pantaulah yang harus dipertamakan. Stasiun pantau menjadi dasar kita tahu polusi udara yang dihirup seperti apa. Kalau dasarnya tidak mewakili, susah bicara," katanya.
Di wilayah DKI Jakarta, ia menambahkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga memasang alat pantau kualitas udara di kawasan Gelora Bung Karno (GBK) dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika punya alat pantau di Kemayoran untuk PM2.5.
Namun keberadaan tambahan stasiun pantau udara itu, menurut Bondan, belum bisa memenuhi kebutuhan alat untuk memantau kualitas udara di wilayah DKI Jakarta yang luasnya sampai 660 kilometer persegi.
Bondan mengatakan bahwa rata-rata tahunan PM2.5 di Jakarta angkanya 34,57 mikrogram per meter kubik (μg/m3), yang artinya sudah dua kali lipat melebihi baku mutu udara ambien nasional 15 μg/m3.
Padalah, menurut dia, pencemaran udara bisa mimicu atau menimbulkan penyakit seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) hingga kanker paru-paru.