Tuhan Saja Demokratis, Kenapa Kita Tidak?

| 23 Jul 2019 15:52
Tuhan Saja Demokratis, Kenapa Kita Tidak?
Ilustrasi (Ilham/era.id)
Jakarta, era.id - Opini negatif dari warganet bikin Salmafina Sunan merasa terganggu. Banyak dari mereka --padahal cuma dugaan-- menganggap alasan Salma pindah agama karena perceraian dengan suaminya, Taqy Malik. 

Mungkin bagi wargnet, belum afdal rasanya kalau belum mencibir. Bisa-bisanya mereka bicara menganggap Salmafina tak pantas mendapatkan cinta dari Taqy Malik yang dianggap netizen baik. 

"Mengganggu sih. Maksudku ya sudah itu kan pikiran mereka mantan suami saya baik-baik, yang paling tahu saya, kan yang jalani saya," ujar Salmafina Sunan dilansir dari official Trans TV, Jumat (19/7). 

Perundungan online itu membuat Salma makin jengah. Dia tak habis pikir, kenapa warganet dengan entengnya melemparkan penilaian-penilaian seperti itu. Bahkan netizen tak segan-segan menggunjing dirinya apabila melakukan kesalahan. 

"Di mana orang-orang merasa paling benar, mereka paling tahu hidupnya Salma, lepas hijab segala macam mereka merasa paling tahu," katanya.

 

 

Sebagai manusia yang hidup di abad ke-21 --di mana informasi dan teknologi berkembang pesat-- masih banyak orang yang belum cukup bijak menghadapi perbedaan keyakinan seseorang. Polisi moral bisa dilakoni mulai dari masyarakat, warganet, hingga media massa. Memperkosa privasi, mempersekusi keyakinan, hingga menjadikan perbedaan sebagai bahan perundungan. 

Sangat manusiawi sebetulnya jika kita merasa kehilangan melihat keluarga atau sahabat berpindah agama. Hal itu semata-mata karena unsur iman atau kepercayaan yang sama sejak dahulu. Namun jika hal itu (berpindah agama) dilakukan karena perjalanan spiritual menemukan keyakinan --tanpa ada intervensi dan paksaan-- kita harus menghargai hal tersebut sebagai kuasa Tuhan menciptakan perbedaan.

Dalam konteks negara, memilih agama dan kepercayaan yang diantut sudah diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar RI 1945: Negara menjamin kemerdekaan pada tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing. 

Semua agama demokratis, kenapa kita tidak?

Semua agama sepertinya sama demokratis dalam memberikan kebebasan bagi umatnya menentukan keyakinan. Bahkan dalam Alquran diceritakan kalau Nabi Ibrahim pernah melakukan perjalanan spiritual dengan mencari kebenaran dari agama yang dianutnya. Kisah itu termaktub dalam surat Al-An'am ayat 75-79.

Pendakwah sekaligus peneliti dari Lembaga Islam Cinta, Husein Ja'far Alhadar menjelaskan, dalam Islam ada prinsip yang namanya La Ikraha Fiddin. Artinya, tidak ada paksaan dalam agama. Prinsip tersebut merupakan penggalan ayat Alquran surat At-taubah ayat 73.

Husein menjelaskan, kata La di situ diartikan benar-benar tidak boleh ada sesuatu yang mengarah pada paksaan. "Bukan cuma paksaan secara langsung, tetapi misalnya mem-bully yang arahnya untuk mencibir dia yang pindah agama, atau mencibir dia yang berencana pindah agama," kata Husein kepada era.id. 

Kata Husein, sikap orang-orang sesama muslim kepada orang-orang yang ingin pindah agama adalah dengan cara mendakwahinya dengan ma'ruf, artinya dengan cara yang baik. Dia mencontohkan, bagaimana Nabi Muhammad melakukan dakwah dengan cara berargumen secara solid atau benar-benar mencari tahu apa penyebab orang tersebut pindah agama.   

"Dan pada akhirnya setelah kita dakwah ternyata dia mau pindah agama ya tidak ada masalah. Islam memperkenankan untuk pindah agama," ujarnya.

Sementara itu, Husein menegaskan bahwa sikap mem-bully, memprovokasi, propaganda, mengumbar aib orang, menghakimi orang yang berpindah agama adalah hal yang sangat dilarang dalam Islam. "Tidak perlu ada reaksi berlebihan dan tidak boleh," tegasnya. 

Melihat dari perspektif Katolik, Romo Benny Susetyo menjelaskan dalam Katolik juga tak ada mempermasalahkan apabila seseorang dari umat mereka pindah agama. Romo menegaskan bahwa hal itu merupakan hak setiap orang.

"Itu kan keyakinan, kita kan tidak bisa memaksa. Kalau seseorang memutuskan (pindah agama) hal itu hak seseorang. Yang penting seseorang itu meyakini," tutur Romo ketika dihubungi era.id.

Infografik (Ilham/era.id)

Selain itu, persoalan pindah agama menurut Romo adalah masalah privat yang tidak perlu dipersoalkan dan dipublikasikan karena itu pilihan orang. Menurutnya, persoalan privat itu tidak perlu dijadikan urusan publik. 

"Dia (pindah agama) ranah privat, pilihan hidup seseorang, dan seseorang itu bertanggung jawab kepada pilihannya masing-masing," tegas Romo.

Anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini juga mengatakan, persoalan pindah agama itu tidak perlu dibuat ramai. Kedepannya, menurut Romo, hal-hal seperti ini tidak perlu lagi dijadikan isu di ruang publik.

"Jangan sampai jadi sensasi kemudian menjadi semacam kehebohan itu karena menjadikan semacam konsumsi publik, mencari popularitas," pungkasnya.

Rekomendasi