DPR Evaluasi Iuran BPJS Kesehatan yang Naik

| 28 Aug 2019 12:53
DPR Evaluasi Iuran BPJS Kesehatan yang Naik
Wakil Ketua DPR Fadli Zon (Mery/era.id)
Jakarta, era.id - Wakil Ketua DPR Fadli Zon tak sependapat dengan rencana Kementerian keuangan usulkan kenaikan pembayaran iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan. Menurutnya, kenaikan iuran dari kelas I hingga III menunjukkan ketidakberesan pada manajemen BPJS.

Fadli menegaskan, seharusnya hal ini tidak boleh terjadi. Apalagi, dari total anggaran pendapatan dan belanja nasional (APBN) 5 persennya adalah jatah untuk kesehatan dan tertuang dalam amanat undang-undang.

"Harusnya dievaluasi BPJS itu. Apa yang salah dengan BPJS? Kenapa bisa seperti itu?," tuturnya, di Gedung DPR, Komoleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (28/8/2019).

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini menilai, seharunya BPJS ini ada skema di mana masyarakat mendapatkan kemudahan bukan justru mempersulit. Terutama bagi masyarakat yang kurang mampu. "Kalau perlu digratisin jangan dibebankan pembayaran itu," ucapnya.

Sebelumnya, kementerian keuangan memberikan usulan kenaikan pembayaran iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan, besaran kenaikan iuran tersebut mencapai 100 persen. Artinya, peserta JKN kelas I yang tadinya hanya membayar Rp80.000 per bulan harus membayar sebesar Rp160.000.

Kemudian, untuk peserta JKN di kelas II harus membayar Rp110.000 dari yang sebelumnya Rp51.000. Sedangkan usulan kenaikan iuran untuk peserta kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 bisa diberlakukan. Direncanakan kenaikan iuran serentak akan dimulai pada 1 Januari 2020. 

Angka yang diusulan Menkeu ini, di atas yang diusulkan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Sebelumnya DJSN sempat mengusulkan adanya kenaikan iuran peserta kelas I menjadi Rp120.000 sementara kelas II Rp75.000 untuk mengatasi masalah defisit yang telah melanda BPJS Kesehatan sejak tahun 2014.

Sekadar informasi, pada awal penerapannya, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mencatatkan defisit sekitar Rp1,9 triliun di tahun 2014.  Pada 2015, defisit berlanjut menjadi Rp9,4 triliun. Pemerintah pun turun tangan menyuntikkan dana sebesar Rp5 triliun. Hal ini dilakukan agar BPJS kesehatan tetap dapat menyediakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Kemudian, pada 2016 defisit mengalami penurunan sedikit ke angka Rp6,7 triliun karena ada kenaikan iuran. Sesuai dengan Prepres iuran itu tiap dua tahun di review. Pada 2017 kembali membengkak menjadi Rp13,8 triliun. Melihat ini, pemerintah tak tinggal diam, pada saat itu menyuntik lagi dana kepada BPJS kesehatan sebesar Rp3,6 triliun. Sedangkan, pada 2018 defisit sebesar Rp19,4 triliun dan 2019 yang diprediksi akan lebih besar.

Rekomendasi