Rabu sore (4/9) sekitar pukul 17.05 WIB, tawuran pecah di atas rel kereta api, beberapa ratus meter dari Stasiun Manggarai. Tawuran melibatkan sekitar 300 orang dari tiga kelompok massa: warga Megazen Tebet Jakarta Selatan, warga Tambak dan warga Menteng Tenggulun, Jakarta Pusat.
Dua menit berselang, tawuran kembali pecah di sekitar Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Jayakarta. Tawuran yang kedua berhasil dihalau petugas dari Polsek Menteng yang dibantu Koramil 01 Menteng. Pasukan gabungan berhasil mendorong massa bubar.
Tawuran di sekitar rel kereta api bahkan sempat mengganggu perjalanan commuter line. Vice President Corporate Communication PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) Anne Purba menjelaskan, operasional commuter line terpaksa dihentikan sejenak karena sebuah rangkaian yang berhenti di sekitar lokasi tawuran turut jadi sasaran serangan kelompok massa.
Kata Anne, tawuran juga mengganggu perjalanan rangkaian itu karena lemparan benda asing mengenai bagian power supply compressor bertegangan tinggi dan memicu percikan api. Petugas kemudian bergerak memadamkan. Untuk menghindari hal lebih buruk, rangkaian tersebut terpaksa dilarikan ke Dipo Bukit Duri untuk pemeriksaan teknis.
Usai tawuran, Kapolsek Setiabudi AKBP TP Simangungsong mengungkap keganjilan terkait asal warga dan lokasi pecahnya tawuran. Terkait itu, polisi melakukan pendalaman. "Mereka semua bukanlah warga Setiabudi, warga luar, hanya saja tawurannya pecah di Setiabudi," tutur Simangungsong kemarin sore.
Menolak garis sejarah
Konon, ada catatan-catatan sejarah yang membuat tawuran di Manggarai berkembang bak budaya. Permusuhan turun-temurun diwariskan dari generasi ke generasi.
Barangkali ada benarnya. Namun, keyakinan itu nyatanya kerap membuat otoritas abai mendalami motif tawuran. Keyakinan yang bahkan mengaburkan berbagai kemungkinan lain yang melatarbelakangi tawuran.
Kapolsek Setiabudi AKBP TP Simangungsong mengakui kondisi ini. Namun, kata Simangungsong, kali ini polisi menolak tunduk pada cerita-cerita sejarah. Simangungsong mengatakan akan mendalami motif tawuran kemarin.
"Sampai detik ini tidak ada yang tahu. Ada yang bilang dari zaman dahulu mereka sudah begitu (bentrok). Kadang saling ledek lewat WA juga bisa saling serang. Kondisi yang sesungguhnya belum tahu, dari zaman dahulu sudah bermusuhan," tuturnya ditulis Antara, Kamis (5/9/2019).
Aroma narkoba
Sementara itu, Badan Narkotika Nasional (BNN) akan mendalami kemungkinan gerakan terorganisir di balik massa dan aksi tawuran yang berkali-kali terjadi di wilayah Manggarai dan sekitarnya.
"Bisa saja orang kelabui masuk lewat pintu besar, seperti pantai atau pelabuhan. Kemudian (di Manggarai) mereka mengelabui (lewat) perkelahian antarkampung. Secara penelitian, kami belum melihat hasilnya," tutur Kepala Biro Humas dan Protokol Sekretariat Utama BNN Kombes Pol Sulistyo Pudjo.
"Apakah kasus perkelahian di Jakarta dengan motif mengelabui agar barang masuk ke kampung? Tentu saja BNN perlu lihat dasar dari itu, apakah ada penelitian atau tidak, kita sedang dalami," tambah Sulistyo.
Yang jelas, menurut Sulistyo, ada ikatan khusus antara narkoba dan tawuran. Sulistyo bilang, dalam banyak temuan, narkoba kerap dikonsumsi para pelaku tawuran sebagai pengalih logika serta meningkatkan keberanian mereka menghadapi lawan.
Selain sebagai 'dopping nyali', beberapa jenis narkoba bersifat analgesik kerap disalahgunakan pelaku tawuran sebagai penghilang rasa sakit. "Narkoba dengan kandungan analgesik itu bisa berwujud sintetis maupun nonsintetis," kata Sulistyo.