Peliti ICW Tama S Langkun menilai, subtansi pembatasan lama waktu penyidikan dan penuntutan korupsi yang harus diselesaikan dalam waktu satu tahun sangatkan memberatkan. Poin revisi ini sama saja memberikan ruang kosong bagi para koruptor untuk mengulur waktu.
“Ketika subtansi yang seperti itu dipertahankan, maka koruptor lah yang diuntungkan dalam penangan perkara itu. Dalam kondisi ini, konteksnya (KPK) dilemahkan karena kalau bicara penanganan perkara akan berhubungan sama OTT yang mungkin bisa dalam waktu setahun. Meski penanganan-penangan perkarannya tidak akan selesai,karena biasanya melibatkan banyak pihak,” ujar Tama saat dihubungi era.id di Jakarta, Kamis (5/9/2019).
Tama menjelaskan, tidak semua perkara bisa diselesaikan dengan batas waktu satu tahun. Apalagi, jika menyangkut kerugian negara. Sebab, menghitung kerugian negara yang disebabkan korupsi tidak sebentar.
“Kalau yang berhubungan dengan desk bulding atau perkara reguler mencari kerugian negaranya mana, itu kalau cuma setahun saya bisa pastikan akan banyak perkara yang tidak selesai. Menghitung kerugian negara itu tidak sebentar, belum lagi ada ‘antrian’, pemeriksaan bidangnya, belum lagi kapasitas pengadilan yang overload. Kalau berbicara konteks tersebut, ini pelemahan terhadap KPK bukan penguatan pemberantasan korupsi,” jelasnya.
Menurut Tama, meskipun dalam poin ini terdapat frasa yang mengatakan dapat dicabut jika ditemukan bukti baru dari sidang praperadilan, hal ini tetap akan mempersulit KPK.
“Iya gini loh, akan jadi kendala dikemudian hari. Kalau kita bicara penanganan korupsi di tahap lidik itu KPK sudah harus mengumpulkan 2 alat bukti. Beda dengan dikasus biasa. Artinya ditahap lidik itulah perkara bisa berhenti, kalau kemudian tidak ada dua alat bukti itu. Tapi kalau tahap ini dibatasi ini saya melihatnya tetap melemahkan posisi KPK,” jelasnya.
Tama menilai, sampai saat ini pihaknya belum mendapat naskah akademik yang mengharuskan UU 30/2002 ini revisi. Sebab, UU ini sampai sekarang masih relevan digunakan. Kalaupun harus dilakukan revisi, harus ada naskah akademik dan alasan yang jelas.
Terlebih dalam bayangannya, KPK belum memutuhkan revisi undang-undang dikarenakan performa KPK dalam penanganan perkara yang sedang berjalan masih baik-baik saja. "meskipun dalam proses tersebut masih ada catatan-catatan, kritik dari publik masih ada. Tapi kalau ujungnya merevisi UU KPK itu tidak relevan,” lanjut Tama.
Apalagi, menurut Tama, pembahasanya sangat tertutup. Bahkan tidak diketahui pandang masing-masing fraksi terhadap revisi ini. Meski faktanya revisi sedang berjalan, presiden harus mengambil langkah mengantisipasi hal tersebut.
“Nah dalam kondisi seperti sekarang bebannya ada pada presiden. Kita berharap presiden harus menolak dengan pembahasan yang seperti ini dengan menakinsme yang menurut kita tidak transparan,” tuturnya.
Secara subtansi yang kemudian sudah diketok DPR, kata Tama, itu jelas melemahkan pemberantasan korupsi karena bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi. “Ini dipertanyakan motifnya apa? mau memperkuat agenda pemberantasan korupsi atau melemahkan KPK,” imbuhnya.
Ya ketok palu di paripurna DPR soal RUU KPK memang terkesan tertutup dan tiba-tiba saja telah selesai. KPK sebagai instansi yang menjalankan penindakan dan pemberantasan korupsi berlandaskan UU itu pun merasa kaget.
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menilai Pemerintah dan Parlemen telah membohongi rakyat soal upaya dalam pemberantasan korupsi. Apalagi, DPR tak pernah memberitahu atau mengajak KPK dalam mengkaji subtansi revisi UU tersebut.
"Kami sudah sampaikan bahwa Indonesia belum membutuhkan perubahan UU KPK," ujar Laode dalam pesan singkatnya yang dibagikan ke grup WhatsApp wartawan.
“Pemerintah dan Parlemen telah membohongi rakyat Indonesia, karena dalam program mereka selalu menyuarakan penguatan KPK. Tapi pada kenyataannya mereka berkonspirasi melenahkan KPK secara diam-diam,” tegasnya.
Ketok Magic Palu DPR
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR, Desmond J Mahesa membantah bahwa revisi ini akan melemahkan KPK perihal upaya pemberantasan korupsi. Dia mengklaim, sudah seharusnya ada penegasan terkait jangka waktu (SP3) sehingga ada kepastian hukum.
“Kalau ada pesan ini melemahkan, kan dalam negara hukum harus ada kepastian hukum. Kecuali Indonesia UU kita tidak bicara tentang negara hukum. Bagi saya tidak ada sesuatu yang luar biasa, toh tidak ada orang lain yang intervensi, pengawas KPK sendiri. Itu dianggap melemahkan, kan lucu. Massa orang bertahun-tahun jadi terdakwa, tersangka,” katanya.
Desmond menilai, KPK tidak dalam kapasitas menolak atau menerima revisi UU nomor 30/2002 ini. Sebab, KPK adalah pelaksana undang-undang, bukan pembuat undang-undang. Meski begitu, KPK diperbolehkan memberi masukan.
“KPK itu siapa sih? KPK menolak, mereka bukan pembuat undang-undang. Masa pelaksana undang-undang menolak. Pemerintah dan DPR lah yang punya kapasitas melihat. Dalam konteks negara hukum, KPK dalam konteks pembagian kekuasaan ya, KPK baguan dari negara. Bukan berdiri sendiri,” jelasnya.
Politisi Partai Gerindra ini juga meyakini, jika revisi UU KPK kali ini tidak akan mendapat penolakan kembali dari pemerintah, terkhusus Presiden Jokowi. “Ya saya optimis karena ini bangun sistem. Karena kemarin beliau (Presiden Jokowi) bangun sistem omongannya,” ucapnya.
Dalam rapat paripurna DPR, hari ini menyetujui usulan revisi dua UU yang telah diusulkan Badan Legislatif (Baleg) DPR, yaitu RUU tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) dan RUU Perubahan atas UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Keputusan untuk merevisi dua UU ini diambil dalam rapat paripuna yang hanya dihadiri 70 orang anggota dewan, itu pun dihitung berdasarkan pandangan mata dari 560 anggota DPR. Dan dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Utut Adianto.
Materi muatan revisi UU KPK tersebut meliputi perubahan status kepegawaian para pegawai KPK menjadi ASN, kewenangan penyadapan, pembentukan Dewan Pengawas, KPK tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, peralihan pelaporan LHKPN, serta kewenangan KPK untuk menghentikan perkara.
Perinciannya adalah sebagai berikut:
Pertama, kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang berada pada cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan. Meski KPK merupakan cabang kekuasaan eksekutif, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPK bersifat independen. Pegawai KPK merupakan aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk pada peraturan di bidang aparatur sipil negara
Kedua, KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dapat melakukan penyadapan. Namun, pelaksanaan penyadapan dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas KPK.
Ketiga, KPK selaku lembaga penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia. Oleh karena itu, KPK harus bersinergi dengan lembaga penegak hukum lain sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.
Keempat, di dalam upaya meningkatkan kinerja KPK di bidang pencegahan korupsi, setiap instansi, kementerian, dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggara negara sebelum dan setelah berakhir masa jabatan.
Kelima, KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diawasi oleh Dewan Pengawas KPK yang berjumlah lima orang. Dewan Pengawas KPK tersebut dalam menjalankan tugas dan wewenang dibantu oleh organ pelaksana pengawas.
Keenam, KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 1 tahun. Penghentian penyidikan dan penuntutan tersebut harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas dan diumumkan kepada publik.
Penghentian penyidikan dan penuntutan dimaksud dapat dicabut bila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan atau berdasarkan putusan praperadilan.