Pertama, penyediaan tenaga ahli bagi setiap anggota DPRD dengan gaji yang dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) DKI.
Sebenarnya, keinginan ini pernah diusulkan pada Juli 2017 lalu. Sayangnya, hal itu tak bisa dikabulkan karena menurut peraturan yang ada, tenaga ahli hanya untuk kelengkapan dewan, pimpinan dewan, serta tim ahli setiap fraksi, bukan untuk setiap anggota.
Anggapan mereka, anggota DPR RI di periode baru ini saja bisa mendapatkan maksimal 15 tenaga ahli untuk mendukung kinerja mereka. Tentu DPRD DKI juga mau punya, barang satu saja tenaga ahli tiap dewan.
"Tenaga ahli yang saat ini cuma berjumlah 3 orang di tiap komisi dan 1 di fraksi. Itu dirasakan ga adil dan proporsional. Ruang lingkup kerja anggota dewan kita kan 106 dan tidak ada DPRD Kabupaten, jadi perlu suporting di penambahan tenaga ahli," kata Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta sementara, Syarif, Kamis (5/9).
Kedua, DPRD menginginkan pembentukan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) seperti anggota DPR RI.
DPR jelas bisa punya BURT yang bertugas menetapkan kebijakan kerumahtanggaan dewan dan melakukan pengawasan terhadap Sekretariat Jenderal dalam pelaksanaan kebijakan kerumahtanggaan DPR, karena diatur oleh Undang-Undang MD3.
"Kalau kita cuma mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah karena tdk ada aturan BURT. Hanya panitia yg bersifat ad hoc," ucap Syarif.
Berdasarkan tatib anggota DPRD sebelumnya, pihak yang mengurus administrasi keuangan serta mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi dewan diurus oleh Sekretariat Dewan. Mereka berasal dari Pegawai Negeri Sipil. Beda dengan BURT yang dipilih langsung oleh DPRD.
Tapi, Syarif merasa koordinasi antara DPRD dengan Sekwan soal kebutuhan rumah tangga mereka seringkali enggak berjalan mulus.
"Contohnya, biaya perjalanan dinas dibuat Sekwan. Tiba-tiba, pas perjalanan kita nombok, alasannya tiket pesawat itu harganya ternyata lebih tinggi," tuturnya.
Ketiga, DPRD juga menginginkan ruang lebih saat Gubernur DKI Jakarta menunjuk serta merombak susunan wali kota, direksi BUMD, dan delegasi urusan luar negeri. Dari aturan yang ada, DPRD ingin mengubah diksi "dapat" menjadi "wajib", kala gubernur melaporkan penggantian wali kota atau direksi perusahaan.
"Memang bukan berarti wajib mendapatkan persetujuan dari dewan. Tapi wajib mendapatkan pertimbangan kami," ungkap Syarif.
Selama ini, kata Syarif, gubernur tidak pernah melibatkan dewan untuk meminta pertimbangan dalam mengangkat direksi BUMD ataupun wali kota karena memang enggak diwajibkan.
"Sekarang gubernur mengangkat seenaknya. Suka-sukanya. Siapa saja diangkat," tuturnya.
Lebih lanjut, Syarif bilang usulan-usulan klausul revisi Peraturan DPRD DKI Jakarta No 1 tahun 2018 tentang Tata Tertib ini telah dikirim ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk dikaji. Soal diterima atau tidaknya usulan ini, menjadi kewenangan Kemendagri.