Aksi ini juga diikuti oleh Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Dalam kesempatan itu, Saut berorasi di depan para pegawai yang diguyur panas cuaca di luar Gedung Dwi Warna, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan.
Dalam orasinya, Saut menyebut revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK tak sejalan dengan Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC) yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun 2006. Salah satu poin konvensi itu, kata Saut, mengamanatkan setiap negara untuk mendirikan satu lembaga antikorupsi yang bebas dari kepentingan apapun.
Sehingga, jika revisi ini kemudian disahkan menjadi UU, maka KPK bukan lagi lembaga yang independen dalam memberantas korupsi. Karena lewat revisi itu, KPK berpotensi menjadi salah satu lembaga pemerintah pusat.
"(RUU KPK) tidak penting, tidak terkait dengan UNCAC yang sudah kita ratifikasi tahun 2006," kata Saut, Jumat (6/9/2019).
Saut juga menilai revisi UU itu sengaja dilakukan untuk melemahkan kerja KPK. Salah satunya dengan membatasi penyadapan yang dilakukan KPK untuk membongkar sebuah kasus korupsi.
Saut Situmorang dalam orasinya (Tsa Tsia/era.id)
"Apakah penyadapan itu penting? Penting! Tidak boleh dilarang. Sembilan poin itu penting? Tidak terkait dengan undang-undang yang sudah kita ratifikasi tahun 2006. Tolong itu dicatat," tegas dia.
"Oleh sebab itu, harus dilawan, harus dilawan, harus dilawan. Lawan!" seru saut.
Saut mengungkapkan, lima pimpinan KPK telah menandatangani surat yang berisi penolakan revisi undang-undang. Surat ini juga bakal segera dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo. "Mudah-mudahan dibaca untuk kemudian mengambil kebijakan," ujarnya sambil menutup orasi.
Aksi tandingan
Aksi perlawanan pegawai KPK terhadap revisi UU itu dibarengi demo tandingan dari Gerakan Mahasiswa Independen. Puluhan demonstran melakukan aksinya di halaman Gedung KPK. Sebagian dari mereka berdemo, sementara sisanya berteduh di seberang jalan KPK.
Dari atas mobil komando, orator menyampaikan sejumlah tuntutan. Berbeda dengan pimpinan dan pegawai KPK, aksi mereka justru mendukung sepuluh capim KPK yang dituding bermasalah rekam jejaknya dan mendukung revisi UU.
Lantangnya suara dari mobil komando membuat suara bersahutan dengan suara Wakil Ketua KPK Saut Situmorang yang tengah berorasi di depan gedung.
"Jangan sekali-kali mengintervensi sepuluh capim KPK. Karena itu sudah UUD 1945," kata orator dari atas mobil komando dengan suara pelantang.
Aksi tandingan di depan Gedung KPK (Tsa Tsia/era.id)
Penasaran, era.id menghampiri demonstran yang tengah bersantai menikmati minuman dingin di seberang jalan. Prasetyo (15) mengaku berasal dari wilayah Pasar Senen, Jakarta Pusat. Kepada kami, mereka mengaku dibayar Rp40 ribu untuk ikut dalam aksi demo.
"Asalnya dari Senen. Kita dibayar Rp40 ribu," kata dia meski tak mau menyebut siapa yang membayarnya.
Seperti yang kami duga, sejumlah massa bayaran ini bahkan tak mengetahui dasar tuntutan mereka. "Ini semuanya dari Senen. Tapi kita enggak tahu apa tuntutannya," sambung Prasetyo.
Selain Prasetyo, kami juga berbincang dengan Fikri (16). Sama seperti Prasetyo, Fikri juga mengaku dia tak tahu dasar tuntutan dalam demo ini. "Enggak tahu tuntutannya apa. Dibayar Rp40 ribu," ungkapnya.
Fikri yang baru lulus sekolah ini kebagian memegang poster di barisan depan. Menurutnya, dia sengaja ikut karena diajak dan tengah membutuhkan uang. "Saya ikut saja soalnya yang penting dapat uang," ujar dia.
Aksi demo tandingan itu baru selesai ketika para pimpinan dan pegawai KPK membubarkan diri untuk kembali bekerja. Sejatinya, soal demo ini pernah disinggung oleh Wakil Ketua KPK Laode M Syarif.
Saat dicecar DPR terkait pembiayaan LSM yang bersuara keras membela KPK, Syarif malah menyinggung soal demo bayaran yang setiap hari menghiasi halaman Gedung KPK.
"Yang perlu dipertanyakan itu, yang kirim-kirim bus itu. Yang orangnya enggak tahu apa yang diomongin. Sampai 6-7 bus depan KPK. Nah, itu yang dibayar. Kalau yang lain, para tokoh bangsa jangan juga kita rendahkan," ujar dia saat itu dan ternyata pernyataannya terbukti.