Ibu Kota Baru Dihantui Kesulitan Atasi Kebakaran Hutan

| 11 Sep 2019 18:15
Ibu Kota Baru Dihantui Kesulitan Atasi Kebakaran Hutan
Ilustrasi (Pixabay)
Jakarta, era.id - Pemerintah bakal memindahkan Ibu Kota Negara dari DKI Jakarta ke wilayah Penajam Paser Utara, dan Kutai Karta Negara Kalimantan Timur (Kaltim). Proses pembangunan pemindahan Ibu Kota ini baru akan dimulai pada 2020.

Namun, saat ini, Penajam mengalami bencana kebakaran hutan. Dilansir Antara, sebanyak 80 hektare lahan gambut ludes terdampak kebakaran hutan.

Kepala Sub Bidang Logistik dan Peralatan BPBD Penajam Paser Utara Nurlaila mengatakan, petugas BPBD Kabupaten Penajam Paser Utara kesulitan memadamkan kebakaran lahan gambut di RT 11 dan 12 Kelurahan Petung serta di RT 03 Desa Giripurwa. Pemadaman ini masih dilakukan dengan bantuan tim gabungan.

"Pemadaman kebakaran lahan gambut dilakukan secara manual, karena mobil pemadam tidak bisa sampai ke lokasi kebakaran," katanya.

Sebelumnya, pemerintah menunjuk Penajam Paser Utara dan Kuta Kartanegara menjadi ibu kota karena beberapa pertimbangan. Kawasan itu pun sudah dipantau Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). 

BMKG mencatat, kawasan itu berpotensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Sekali pun kawasan Kalimantan Timur tidak berbatasan langsung dengan batas negara serta memiliki ketersediaan lahan dengan status APL, hutan produksi dengan konsesi HTI dan hutan produksi yang bebas konsesi.

"Wilayah Kalimantan Timur tercatat oleh BNPB menjadi wilayah yang rawan banjir pada wilayah yang dekat dengan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS). Selain itu, wilayah ini juga memiliki ketersediaan sumber daya air tanah yang rendah serta mengalami tingkat deforestasi cukup tinggi," tulis Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB, Wisnu Widjaja dalam kajiannya berjudul Analisa Kebencian Terkait Pemindahan Ibu Kota Negara.

Sehingga ketika terjadinya pembakaran hutan wilayah ini akan terisolasi dan akan menyulitkan untuk ditangani. Satu aspek lagi yang menjadi kelemahan wilayah Kalimantan Timur adalah adanya pencemaran minyak di perairan.

Selain kebakaran hutan, BMKG juga menyarankan untuk melakukan perencanaan terkait mitigasi bencana dengan menyiapkan tata ruang pantai. Hal itu mengingat Pulau Kalimantan khususnya wilayah pesisir Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan masih memungkinkan umntuk menerima tsunami kiriman.

Sementara, BMKG menyebut, wilayah ibu kota baru ini lebih aman dari ancaman gempa bumi dibanding Pulau Jawa. Sebab, pulau Kalimantan berada cukup jauh dari zona tumbukan lempeng atau megathrust. Sehingga secara umum aktivitas gempa bumi di wilayah Kalimantan terhitung rendah dan relatif lebih aman daripada pulau-pulau lain di Indonesia.

Pemerintah memilih Kalimantan Timur dipilih karena beberapa hal. Di antaranya, berada dekat dengan dua bandar udara besar, di Balikpapan dan di Samarinda; dekat dengan akses jalan tol Balikpapan-Samarinda; dekat dengan Semayang Balikpapan; struktur demografi di wilayah ini juga tergolong heterogen, bahkan sebagian besar merupakan pendatang.

Ilustrasi (Ilham/era.id)

Sementara, pembangunan dan pemindahan ibu kota baru ini diperkirakan akan memakan waktu hingga empat tahun dengan biaya Rp466 triliun di mana 19 persen akan berasal dari APBN, itu pun terutama berasal dari skema kerja sama pengelolaan aset di ibu kota baru dan DKI Jakarta.

Sejumlah aturan dan undang-undang juga perlu direvisi terkait pemindahan ibu kota. Setidaknya dalam catatan era.id, proses pemindahan ibu kota membutuhkan sembilan UU yang pembahasannya melibatkan lintas komisi di DPR. Tidak cukup hanya merevisi UU nomor 29 tahun 2007 tentang pemerintahan provinsi ibu kota negara yang saat ini masih berposisi di DKI Jakarta, tapi juga penataan ulang lokasi pertanahan ibu kota negara.

Selain itu juga revisi UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (pengaturan kawasan strategis Ibu Kota Negara sebagai ring 1),  UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah dan kajian ulang pembuatan UU tentang Kota.

Rekomendasi