Diketahui Rapat Panitia Kerja (Panja) DPR itu digelar secara tertutup di Hotel Fairmont, Jakarta sejak 14-15 September. Dalam pertemuan itu, DPR telah menyelesaikan pembahasan RKUHP menjadi KUHP baru, menggantikan KUHP lama peninggalan Pemerintah Belanda.
"Kami sudah selesaikan, tapi kan sudah saya sampaikan kita sudah selesaikan pembahasannya. Tinggal perumusan redaksional pasal-pasal tertentu dan ya kemudian akan kita bawa ke pembicaraan tingkat I pleno Komisi III," kata Anggota Panja RKUHP Arsul Sani, kepada wartawan, Senin (16/9).
Arsul berdalih, rapat akhir pekan kemarin tak lagi membahas substansi hukum serta kontekstual dari isi KUHP baru. Melainkan pembahasan mengenai redaksional terhadap penulisan pasal-pasal tertentu yang melibatkan ahli bahasa.
"Bukan, ini kan rapat perumusan. Kalau rapat yang harus terbuka itu kan kalau rapat pembahasan, debat. Masak mau tahu juga perumusan titik komanya dan segala macam. Apakah pakai kata 'terhadap' atau 'atas', gitu, kan, enggak usah (terbuka). Kalau merumuskan kan sudah selesai," jelas Arsul.
Arsul mengungkap, bahwa rapat RKUHP hanya tinggal menunggu waktu untuk dibawa dalam Rapat Paripurna di penghujung masa akhir periode anggota dewan 2014-2019 sehingga tidak mungkin ada perubahan terhadap substansi.
Seluruh isi rancangan yang sebelumnya menjadi perdebatan, kata Arsul, telah disepakati oleh Tim Panja DPR dan Pemerintah. Setidaknya terdapat tujuh isu yang menjadi pengganjal proses pembahasan yakni, hukum yang hidup di masyarakat (Hukum Adat), pidana mati, penghinaan terhadap presiden, tindak pidana kesusilaan, tindak pidana khusus, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.
DPR menjadwalkan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam Rapat Paripurna pada akhir September mendatang. Menurut jadwal, Rapat Paripurna DPR akan digelar pada Selasa (24/9/2019)
Sebelumnya, Aliansi Nasional Reformasi KUHP (Aliansi KUHP) menggelar aksi di depan Gedung DPR/MPR. Mereka mengkritik terlaksananya rapat Panjar DPR untuk RKUHP dilakukan secara diam-diam.
Menurut mereka, terlaksananya rapat diam-diam dan tertutup juga dianggap telah mencederai kepercayaan dan amanat rakyat untuk Pemerintah dan DPR lantaran RKUHP dibahas tanpa legitimasi dan transparansi yang kuat.
"DPR mengajak kepada publik terlibat aktif, tapi banyak yang terbukanya atau justru banyak yang tertutupnya. silakan jawab sendiri DPR," ungkap salah satu orator aksi, Lini Zurlia yang menolak pengesahan RKUHP.
Di sisi lain, Lini juga mengingatkan DPR bahwa pengesahan RKUHP akan membuat penderitaan bagi generasi muda. "Jika RKUHP disahkan, bukan mereka (DPR) yang merasakan penderitaan, tapi generasi muda seperti saya dan teman-teman saya. Bagaimana bisa DPR merancang RKUHP tanpa melibatkan orang yang terdampak langsung," ujarnya.
Pendapat yang sama juga dilontarkan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers yang mendesak pemerintah dan DPR mencabut 10 pasal dalam RKUHP karena bisa mengkriminalisasi kebebasan pers.
Ketua Umum AJI Abdul Manan berujar, dalam draf RUU KUHP tertanggal 28 Agustus 2019, ada sejumlah pasal yang selama ini dikritik masyarakat sipil karena tak sesuai dengan semangat reformasi dan pemerintahan bersih.
"Termasuk di dalamnya adalah pasal-pasal yang dinilai bisa mengancam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers," tuturnya.
Pertama, pasal 281 RKUHP tentang penghinaan terhadap pengadilan. Abdul menilai pasal itu berpotensi memidanakan jurnalis dan media yang menulis putusan pengadilan. Pasal ini juga dapat digunakan penegak hukum untuk membungkam media yang menulis artikel, bernada kritikan.
Kedua, pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden; ketiga, pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah; keempat, pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa; kelima, pasal 262 tentang penyiaran berita bohong; dan keenam, pasal 263 tentang berita tidak pasti.
Selain itu, pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama; kedelapan, pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara; kesembilan, pasal 440 tentang pencemaran nama baik; dan pasal 444 tentang pencemaran orang mati.
Selain membatalkan pasal-pasal di atas Abdul meminta, pemerintah dan DPR untuk menunda pengesahan RKUHP. Jika disahkan, ia berkata pemerintah dan DPR sama dengan mengabaikan kritik dan masukan dari masyarakat sipil dalam penyusunan buku pidana ini.
Diskursus dalam rancangan KUHP yang baru, telah bergulir sejak pemerintahan Presiden Sukarno, namun tetap belum bisa dirampungkan. Hingga akhirnya pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo, RKUPH kembali mencuat ke publik untuk segera dirampungkan.