Gejayan Kembali Memanggil Rakyat Turun ke Jalan

| 23 Sep 2019 15:35
Gejayan Kembali Memanggil Rakyat Turun ke Jalan
Ilustrasi (Foto: Istimewa)
Jakarta, era.id - "Gejayan di tahun 1998 menjadi saksi perlawanan terhadap rezim yang represif. Gejayan kini kembali memanggil jiwa-jiwa yang resah karena kebebasan dan kesejahteraan yang terancam oleh pemerintah."

Kalimat di atas merupakan satu dari banyak seruan aksi yang bertebaran di media sosial hari ini. Ajakan turun ke jalan untuk seluruh mahasiswa dan elemen masyarakat itu dibungkus lewat tagar #GejayanMemanggil yang sempat menjadi trending topic di Twitter pada Senin pagi (23/9/2019).

"Kosongkan kelas-kelas, turun ke jalan. Kita ketemu di Gejayan," demikian bunyi salah satu poster aksi seruan Gejayan Memanggil. 

Baca Juga : Aksi #GejayanMemanggil Tak Direstui Sejumlah Rektor

"KPK dilemahkan, hutan dibakar, papua ditindas, tanah untuk pemodal, petani digusur, buruh diperas, privasi terancam, demokrasi dikebiri. Rakyat bergerak!" menguntip kalimat lain dalam poster. 

 

Aksi tersebut merupakan pernyataan sikap untuk memprotes dan menentang sikap pemerintah terkait UU KPK, RKUHP, RUU Pertahanan, RUU PKS, RUU Ketenagakerjaan, dan RUU Permasyarakatan. Yang tak kalah penting, mereka juga menyoroti isu lingkungan seperti pembakaran hutan, serta tindakan rasialisme dan kriminalisasi Papua.

Dalam aksi yang diselenggarakan hari ini, demonstran juga akan melayangkan mosi tidak percaya kepada DRR RI. Titik kumpul aksi ini berada di Pertigaan Colombo, Gejayan, Yogyakarta.

Sementara itu, massa disebutkan akan melakukan long march yang dimulai dari tiga titik kumpul, yakni Gerbang Utama Kampus Sanata Dharma, Pertigaan Revolusi UIN Sunan Kalijaga, dan Bunderan Universitas Gadjah Mada.

 

Tragedi bentrokan Gejayan 1998

Aksi yang berlangsung hari ini sejatinya mencoba mengambil tema serupa dari demonstrasi yang terjadi di Gejayan 21 tahun silam. Kala itu, mahasiswa dan elemen masyarakat menuntut Presiden Soeharto turun dari jabatannya.

Kondisi perekonomian dan keamanan di Indonesia yang semakin memburuk membuat mahasiswa melakukan aksi di luar kampus dan juga meluas hingga ke seluruh wilayah Indonesia. Salah satunya di Gejayan, Yogyakarta. 

Ribuan mahasiswa dari Universitas Sanata Dharma, IKIP Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga, Universitas Gadjah Mada, Univrsitas Jana Badra, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan sejumlah perguruan tinggi lainnya berkumpul dan menduduki Jalan Gejayan pada 5 Mei 1998.

Dalam buku Pahlawan Reformasi: Catatan Peristiwa 12 Mei 1998 karya A. Zamroni dan M. Andin, bentrokan bermula ketika ribuan mahasiswa bertahan di Jalan Gejayan sejak pukul 11.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB, di mana panitia resmi menyatakan aksi berakhir pada pukul 17.30 WIB. Massa yang masih bertahan kemudian dibubarkan paksa oleh aparat dengan semprotan gas air mata.

Peserta aksi yang panik kemudian berhamburan. Tak sedikit juga dari mereka yang melemparkan batu ke arah petugas keamanan. Semakin malam kondisi di Gejayan semakin mencekam karena aparat terus menyisir para mahasiswa.

Tak hanya para demonstran, penduduk sekitar pun turut menjadi korban pemukulan aparat. Kondisi ini menyebabkan mahasiswa marah dan akhirnya terjadi bentrokan. 

 

Tiga hari berikutnya, tragedi berdarah di Gejayan terjadi. Bentrokan yang lebih besar ini menewaskan Mozes Gatotkaca akibat hantaman benda tumpul di kepalanya. Moses merupakan mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. 

Mozes Gatotkaca diduga kuat meninggal dunia akibat kebrutalan aparat keamanan setelah dihajar oleh beberapa orang berseragam pada tanggal 8 Mei 1998. Dalam demonstrasi menuntut reformasi, Mozes Gatotkaca tewas dan menjadi bukti akan arogansi kekuasaan. Selain itu, nama Mozes kelak diabadikan pada sebuah jalan di dekat lokasi kejadian.

Rekomendasi