Satu upaya terakhir untuk melawan pelemahan lembaga antirasuah, melalui judicial review terhadap UU KPK hasil revisi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keputusan MK yang bersifat final dan mengikat, bisa menjadi salah satu jalan keluar terakhir melawan pelemahan KPK.
Salah satu kelompok masyarakat yang akan mengajukan uji materi setelah UU KPK diberi nomor dan diundangkan—biasanya setelah satu bulan diketok dalam rapat paripurna, adalah Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Yogyakarta.
"Kami di Pukat UGM akan menempuh judicial review di MK," ujar Ketua Pukat UGM Yogyakarta Oce Madril, seperti dikutip dari Antara, Senin (23/9).
Oce mengatakan, uji materi tersebut dilakukan guna mempersoalkan indikasi adanya cacat formil dan cacat materiil dalam pembentukan revisi UU KPK. Cacat formil yang dimaksud di antaranya mengenai proses pembentukan RUU KPK yang dinilai tidak partisipatif dan tidak termasuk dalam prolegnas prioritas tahun 2019.
Sementara cacat materiil dalam RUU tersebut antara lain mengenai sejumlah poin revisi yang dianggap melemahkan KPK. Seperti Dalam Pasal 24, pegawai KPK harus tunduk dan patuh terhadap UU Aparatur Sipil Negara (ASN), kemudian pembentukan dewan pengawas yang dipilih langsung oleh presiden, serta wewenang menerbitkan surat perintah penghentian perkara (SP3).
Oce berharap, jika nantinya MK memutuskan untuk mengoreksi hasil revisi UU KPK, maka hal tersebut menjadi "tamparan" bagi DPR maupun pemerintah karena telah mengesahkan undang-undang yang bermasalah baik dari segi formil maupun materiil. "Karena memang ada banyak sekali kecacatan yang kita nilai dalam UU KPK yang baru," ujar dia.
Selain pengajuan uji materi di MK, cara lain yang bisa dilakukan untuk menghentikan pelemahan KPK dari UU 30/2002 hasil revisi. Melalui kewenangan Presiden Joko Widodo dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang atau Perppu.
Namun sayangnya, Presiden Jokowi telah memastikan tak akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mencabut UU KPK hasil revisi yang telah disahkan pada 17 September itu. "Enggak ada (penerbitan perppu)," kata Jokowi di Istana Kepresidenan, Senin (23/9).
Jawaban dari Jokowi itu tentu memupuskan harapan masyarakat dan tuntutan mahasiswa yang menolak UU KPK hasil revisi. Terlebih gelombang unjuk rasa yang memprotes agenda DPR yang akan mengesahkan RUU KUHP dan RUU lainnya sedang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengkiritisi sikap Presiden Jokowi yang menolak tuntutan untuk mencabut UU tentang KPK hasil revisi DPR. Menurut dia, sikap itu menunjukkan bahwa janji penguatan pemberantasan korupsi dan penguatan KPK bersifat semu.
“Ini sudah berkali-kali terjadi. Sikap yang menunjukkan ketidakberpihakan pada pemberantasan korupsi. Pertama, Jokowi langsung menyerahkan nama-nama capim KPK yang kita pandang bermasalah. Soal revisi UU KPK, ia punya waktu 60 hari tetapi langsung setuju. Kini saat ada opsi Perppu, Jokowi kembali menolak,” kata Kurnia dalam pesan singkatnya.
Kurnia menyayangkan Jokowi yang langsung menolak untuk mengeluarkan Perpu, disaat kelompok masyarakat dari berbagai elemen dan mahasiswa melakukan aksi di sejumlah wilayah Indonesia. Dengan kata lain, menurut dia, sikap Jokowi menunjukkan komitmen antikorupsi di pemerintahannya belum terbukti.
“Janji-janji yang selama ini diucapkan hanya halusinasi belaka. Karena sudah jelas banyak tokoh bicara ini, tapi rasanya Jokowi tak menganggap penting untuk mendengarkan aspirasi masyarakat,” kata Kurnia.
Persiapan MK
Dengan banyaknya gelombang penolakan dari masyarakat dan mahasiswa. Mahkamah Konstitusi (MK) diprediksi bakal dibanjiri gugatan uji materi terkait Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang baru saja direvisi oleh pemerintah dan DPR RI beberapa waktu lalu.
Ketua MK Anwar Usman menyatakan MK pasti akan bersikap dengan semestinya apabila banyak gugatan yang diajukan ke MK. "Ya, pokoknya MK bersifat pasif, jadi kalau ada pengujian undang-undang apapun tentu tidak ada kata lain kecuali ya akan disidangkan, akan diterima, akan disidangkan dan diputus," kata Anwar seperti dikutip dari Antara.
Lebih lanjut, Anwar menerangkan bahwa setiap uji materi yang dilakukan, maka alat ukurnya itu menggunakan Undang-Undang Dasar (UUD). Nantinya MK melihat apakah uji materi yang diajukan tersebut apakah telah sesuai atau malah bertentangan dengan UUD yang ada.
"Bila sebuah UU diuji tentu ada dasar pengujiannya pasal berapa dalam UUD," ucapnya.
Sebelumnya, ICW dan sejumlah elemen masyarakat berencana mengajukan uji materi hasil revisi UU KPK ke MK. Materi yang akan diuji terkait beberapa pasal krusial yang termuat dalam revisi UU KPK.
Di antaranya keberadaan dewan pengawas, izin penyadapan, serta wewenang menerbitkan Surat Perintah Pemberhentian Penyelidikan (SP3). Pasal-pasal tersebut dinilai berpotensi untuk melemahkan lembaga antirasuah itu.
Dalam uji materi di MK, pemerintah dan DPR akan secara terbuka menjelaskan kepada publik tentang alasan dibalik dilakukannya revisi terhadap UU KPK.