Jakarta, era.id - Sudah lebih dari 20 tahun Indonesia bebas dari Orde Baru. Namun, rezim otoriter ala Presiden Soeharto seakan tak pernah pernah benar-benar pergi. Kebebasan berpendapat masih terbelenggu. Sejumlah aktivis yang menyuarakan pendapat pun masih kena tangkap.
Salah satu golongan aktivis yang sering mendapat manipulasi perkara alias kriminalisasi biasanya berasal dari pejuang lingkungan hidup ataupun pejuang hak asasi manusia (HAM). Dua aktivis HAM, Dandhy Laksono dan Ananda Badudu yang sempat ditahan kemarin dan pagi tadi jadi bukti.
Menurut catatan LSM Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), tren kriminalisasi terhadap aktivis dari golongan itu terus meningkat. Catatan dari olah data di 13 provinsi saja, tercatat 163 pejuang lingkungan dikriminalisasi.
Menurut WALHI, tindakan itu salah satu penyebabnya adalah karena "kebijakan negara yang masih mengandalkan investasi sebagai pilar utama pembangunan," tertulis dalam laman walhi.or.id.
Sementara, janji politik pemerintahan Jokowi-JK yang secara jelas dituangkan dalam Nawa Cita 4 yang menyebut adanya jaminan kepastian hukum soal aturan kepemilikan tanah, perlindungan anak, perempuan dan kelompok masyarakat termarjinal, serta penyelesaian kasus HAM malah jadi sekadar wacana yang menguap.
Sederet kriminalisasi
Ada beberapa kasus kriminalisasi aktivis yang terjadi pada masa pemerintahan Jokowi. Misalnya, pada 2018. Peristiwa tersebut menimpa aktivis Heri Budiawan (Budi Pego). Budi Pego bersama kawan-kawannya berusaha untuk menyelamatkan hutan Banyu Wangi, Jawa Timur dari ancaman kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas tambang emas.
Dalm aksinya, Budi Pego bersama teman-temannya melakukan unjuk rasa menolak tambang emas yang diprakarsai oleh PT Merdeka Copper Gold, Tbk pada 4 April 2017. Tapi, alih-alih aspirasi mereka didengarkan, mereka malah dituduh membentangkan spanduk dengan gambar menyerupai palu arit. Dari situlah Budi Pego Cs dituduh menyebarkan ajaran komunisme.
Padahal, menurut warga yang ikut dalam aksi, mereka hanya menyiapkan sebelas spanduk yang pembuatannya diawasi oleh kepolisian. Apabila ada pembuatan gambar tersebut, maka sedari awal kepolisian harusnya sudah bisa menghentikan dan melakukan tindakan.
Namun, tiba-tiba polisi memperlihatkan sebuah foto bendera berlambang palu arit di dalam aksi. Foto itu ditunjukkan pasca-aksi dilakukan. Menurut salah satu peserta aksi, pembentangan spanduk dilakukan atas permintaan orang yang mereka tidak kenal. Kejanggalan lain belum berhenti. Saat persidangan, barang bukti berupa spanduk nyatanya tak dapat ditunjukkan otoritas hukum.
Rangkaian peristiwa tersebut mengakibatkan Budi Pego divonis oleh PN Banyuwangi dengan pidana hukuman penjara selama sepuluh bulan dengan Pasal 107a KUHP. Namun Budi tidak tinggal diam. Ia melakukan perlawan hingga ke tingkat kasasi ke Mahkamah Agung.
Namun apa yang ia lakukan malah berbuah pahit. Pada 16 Oktober 2018, para Hakim Agung menjatuhkan pidana penjara yang lebih berat selama empat tahun.
Di tahun yang sama, nasib sial juga dialami oleh aktivis Sukoharjo. Ia dipenjara setelah melakukan perlawanan terhadap PT Rayon Utama Makmur (RUM) yang praktik industrinya diduga mencemari dan merusak lingkungan di sekitar pabrik.
Pencemaran air dan udara terjadi di sana hingga mengganggu aktivitas warga dan kelestarian lingkungan di sekitar pabrik. Air sungai menghitam, ikan-ikan mati, dan bau menyengat tercium.
Warga yang mengkritisi dan memperjuangkan haknya justru dipenjarakan dengan berbagai tuntutan berbeda. Seperti dinukil Kompas.com, beberapa yang dipenjara adalah Muhammad Hisbun Payu, Brilian, Sutarno, Kelvin Ferdiansyah Subekti, dan Sukemi.
Mereka dipenjara dua sampai tiga tahun karena dinilai melakukan perusakan. Sementara, Bambang dan Danang dipenjara tiga tahun dan didenda Rp10 juta atas dakwaan pelanggaran UU ITE.
Kasus serupa terjadi pada Tubagus Budhi Firbany atau Panglima Budi Tikal. Ia adalah seorang aktivis lingkungan hidup di Pulau Bangka yang membela nelayan menentang penambangan timah ilegal di muara Kawasan Industri Jelitik.
Penentangan ini Budi dan kelompok nelayan lakukan pada Januari 2015 lalu. Kemudian, Budi ditangkap di Bandung dua tahun kemudian, tepatnya pada Agustus 2017. Ia ditangkap dengan dijerat dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan dan menyebarkan anjuran berbuat kejahatan.