Gugatan Uji Materi Mahasiswa soal UU KPK Masih Terburu-buru

| 30 Sep 2019 11:51
Gugatan Uji Materi Mahasiswa soal UU KPK Masih Terburu-buru
Sidang uji materi UU KPK (Diah/era.id)
Jakarta, era.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau UU KPK hasil revisi DPR. Permohonan ini diajukan oleh 18 mahasiswa dari berbagai universitas. 

Permohonan yang teregistrasi dengan nomor 57/PUU-XVII-2019, dibuka oleh Ketua Majelis sekaligus Ketua MK Anwar Usman. Dalam pemeriksaan pendahuluannya terhadap permohonan uji materi, panelis hakim konstitusi menyoroti ketiadaan nomenklatur UU KPK hasil revisi yang diajukan oleh para pemohon. 

"UU itu membutuhkan tahapan perencanaan, ini sudah, penyusunan, sudah, pembahasan, sudah. Pengesahan, ini yang belum. Karena pengesahannya oleh presiden, dan pengundangan," kata Hakim Konstitusi Wahidudin dalam ruang sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (30/9/2019).

Sebab dirinya melihat pengajuan uji materi undang-undang KPK hasil revisi yang dimohonkan 18 mahasiswa ini masih terlalu prematur. Hal ini dikarenakan UU KPK hasil revisi baru sebatas disahkan Dewan Perwakilan Rakyat, dan belum bernomor serta ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo dalam lembaran negara.

"Kelihatannya ini memang terburu-buru dalam menunggu nomor dari Undang-Undang (KPK) yang sudah disetujui bersama (DPR dan presiden)," lanjutnya.

Senada, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih bilang permohonan uji materi UU KPK disusun secara terburu-buru, sehingga para pemohon lupa kalau UU KPK ini baru saja disahkan dan belum diundangkan. Dia mengingatkan kembali bahwa UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan mengamanatkan sebuah UU berlaku setelah diundangkan.

“Harus ada kepastian UU mana yang diuji karena yang diminta oleh pemohon kan juga kepastian hukum. Kalau UU masih titik-titik [belum diisi nomor dan tahun] belum ada kekuatan mengikat karena kekuatan mengikat itu sejak diundangkan sehingga keluar lembaran negara terkait batang tubuh dan tambahan lembaran negara berkaitan penjelasan,” jelasnya. 

Selain itu, panelis Hakim Konstitusi juga memberikan sejumlah catatan koreksi terkait status dari para pemohon yang tak sepenuhnya mahasiswa. Di mana dalam daftar pemohon tertulis merupakan politikus dan mantan mahasiswa. 

"Ini dijadikan mahasiswa semua?, Harus dicek satu per satu apa kerugian konstitusional dari masing-masing. Jika dia politisi, apa kerugiannya, apakah sama dengan pemohon 1 dan pemohon lainnya," tutur Enny.

Dengan demikian, majelis hakim meminta pemohon memperbaiki berkas uji materi UU KPK paling lambat hingga 14 Oktober 2019 saat sidang kedua digelar.

Alasan pemohon

Di luar ruang sidang, kuasa pemohon uji materi UU KPK, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, menerima kritikan dari panel Majelis Hakim Konstitusi. Kendati demikian, dirinya menjelaskan alasannya tidak menuliskan nomenklatur dalam UU KPK hasil revisi yang digugatnya. 

Dirinya beralasan, saat mengajukan uji materi UU MD3 beberapa waktu lalu, sehari setelah UU tersebut diketok palu di DPR, mereka bisa langsung memasukan berkas permohonan. Mengingat ada masa perbaikan, maka mereka bisa memanfaatkan batas waktu perbaikan berkas untuk memberikan nomor terhadap perbaikan Undang-Undang yang diajukan.

"Di sidang kedua, prediksi yang saya pikir tepat, saat memasuki sidang kedua (14 Oktober 2019), UU itu sudah dinomori (disahkan)," kata Zico.

Zico juga menjawab tanggapan majelis hakim yang menilai permohonan uji materi yang dibuat secara terburu-buru, karena tidak menunggu UU disahkan terlebih dahulu. Pasalnya, ia tak ingin putusan uji materi UU KPK selesai setelah pelantikan Komisioner KPK yang baru. Mengingat, dalam permohonannya, mereka juga meminta pelantikan Komisioner KPK ditunda sampai MK selesai memutus uji materi tersebut.

"Kami terburu-buru karena takutnya sidang belum bisa diputus sebelum Bulan Desember, saat pelantikan anggota KPK yang baru," tutur Zico.

Sebagai informasi, permohonan gugatan uji materi yang diajukan 18 mahasiswa ini bertujuan untuk menguji konstitusionalitas pembentukan UU KPK termasuk substansinya. Pemohon mendalilkan UU KPK hasil revisi cacat prosedur karena disusun tidak mendengarkan partisipasi masyarakat.

Selain itu, pemohon berargumen pengesahan UU KPK dalam sidang paripurna DPR 17 September tidak kuorum. Dari 560 anggota DPR, sebanyak 289 anggota mengisi absen kehadiran, tetapi secara fisik sidang paripurna dihadiri 80 orang.

"Tidak terpenuhinya asas keterbukaan ini dapat dilihat dari keputusan revisi yang diambil tiba-tiba serta pembahasan yang dilakukan tertutup dalam waktu yang sangat terbatas," tutur Zico. 

Selain aspek formil, pemohon juga menguji konstitusionalitas Pasal 29, Pasal 30 ayat (13), dan Pasal 31 UU KPK. Pasal-pasal tersebut memuat syarat dan mekanisme pemilihan komisioner KPK.

 

Rekomendasi