Senjata Makan Tuan Pasukan Bentukan Jepang, PETA

| 03 Oct 2019 15:51
Senjata Makan Tuan Pasukan Bentukan Jepang, PETA
Ilustrasi (Pixabay)
Jakarta, era.id - Saat Perang Pasifik atau Perang Asia Timur Raya berkecamuk, warga Hindia Belanda (Indonesia) membutuhkan angkatan bersenjata guna melindungi mereka dari ancaman Sekutu. Oleh karena itu, Jepang yang sedang berkuasa di Indonesia, membentuk pasukan perang--Pembela Tanah Air (PETA) pada hari ini 3 Oktober 1943. Belakangan, PETA menjadi senjata makan tuan bagi Jepang di Indonesia.

Pembentukan PETA berawal dari usulan seorang tokoh pergerakan dari Partai Nasional Indonesia, Gatot Mangkoepradja. Ia menyurati gunseiken --pemimpin tertinggi pemerintahan militer Dai Nippon di Jakarta-- untuk membentuk pasukan bersenjata. Gayung bersambut, permintaan Gatot yang ingin membentuk organisasi militer dari kalangan anak muda akhirnya dipenuhi pemerintah Jepang. 

Untuk membentuk pasukan milisi tersebut, para pemuda-pemuda terpelajar Indonesia dikumpulkan terlebih dahulu untuk menjadi perwira. Mereka dilatih oleh perwira Jepang.

Seperti dijelaskan Joyce Lebra dalam buku Tentara Gemblengan Jepang (1989) di Jawa, para calon perwira PETA itu dikirim ke Bogor. Mereka dilokasikan di bekas markas KNIL yang saat ini menjadi Museum PETA. Para pemuda berusia 20-an tahun itu dididik dalam pusat pendidikan perwira yang disebut Boei Gyugun Rensentai. Mereka dilatih sebagai calon komandan pleton alias shodancho

Paling lama calon shodancho itu dilatih selama 18 bulan untuk bisa punya kemampuan setara letnan yang dapat memimpin pertempuran di lapangan. Salah seorang yang nantinya menjadi shodancho, Supriyadi, adalah orang yang melakukan pemberontakan terhadap Jepang. 

Usai pelatihan di Bogor, para perwira yang sudah dilatih militer Jepang itu akan kembali ke karesidenan masing-masing di Pulau Jawa. Dalam tempo singkat yakni 18 bulan --semua angkatan perang di dunia membutuhkan masa pendidikan rata-rata tiga tahun--, puluhan ribu pemuda Indonesia pun jadi anggota PETA di Jawa. 

Kehebatan Jepang dalam membentuk pasukan siap tempur itu diakui oleh Mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Pertama RI, Djatikusumo. 

“Hanya dalam 18 bulan, Jepang berhasil membentuk pasukan siap tempur dari para prajurit PETA... Padahal prajurit- prajuritnya direkrut dari orang-orang desa yang cuma Sekolah Rakyat tiga tahun. Bayangkan, bagaimana melatih orang-orang desa yang masih lugu? Mereka belum pernah memegang senapan, apalagi mortir. Mungkin melihat saja baru waktu di PETA. Bagaimana mereka mengerti soal trigonometri dan koniometri yang diperlukan untuk menembakkan mortir?” kata Djatikusumo dalam GPH Djatikusumo: Prajurit Pejuang Dari Kraton Surakarta (1993) yang ditulis Solichin Salam. 

Pemberontak dari shodancho

Setelah 18 bulan dilatih Jepang dan dikembalikan ke daerah asalnya untuk bertugas, salah seorang komandan pasukan atau shodancho bernama Supriyadi merasa tergugah nuraninya melihat penderitaan rakyat bangsanya sendiri.  Ia geram melihat sistem kerja paksa romusha. Kala itu ia menyaksikan para pekerja romusha membangun perbentengan di pantai. Banyak yang mati akibat kelaparan dan disentri tanpa diobati. 

Selain itu, para prajurit PETA yang lain tak kuasa melihat para tentara Jepang melecehkan wanita-wanita Indonesia. Mereka dijadikan sebagai pemuas nafsu oleh para tentara Jepang. 

Tak tahan melihat kebiadaban itu, Supriyadi yang saat itu berada di bawah Batalyon Blitar dan para shodanco lain bergerak. Mereka melakukan persiapan untuk melakukan perlawanan terhadap tentara Jepang. 

Masih menurut Joyce L Lebra (1988), dalam mempersiapkan aksi perlawanan mereka sebenarnya sudah menggelar pertemuan rahasia pada September 1944. Supriyadi merencanakan aksi ini bukan hanya untuk pemberontakan namun juga revolusi. Mereka menghubungi Komandan batalyon di wilayah lain untuk sama-sama mengangkat senjata. Mereka juga berniat menggalang kekuatan rakyat. 

Aksi mereka kemudian terendus oleh polisi rahasia Jepang atau Kenpetai. Supriyadi cemas. Ia khawatir mereka keburu ditangkap sebelum aksi dimulai. 

Kendati demikian nasi sudah menjadi bubur. Pada malam 13 Februari 1945, ia membulatkan tekat bahwa pemberontakan harus dimulai. Mereka merasa ini saatnya tentara PETA membalas perlakuan tentara Jepang. 

Banyak yang menilai gerakan tersebut belum siap termasuk Sukarno. Ia meminta Supriyadi bertanggung jawab apabila pemberontakan tersebut tidak berhasil. 

Selain itu, anggota Batalyon Blitar juga tidak satu suara untuk memberontak. Kendati demikian Supriyadi meminta para pemberontak agar tak menyakiti sesama PETA walaupun tidak sepakat dengan mereka. Tujuan mereka satu: semua pasukan Jepang harus dibunuh.

Sekitar pukul 03.00 WIB tanggal 14 Februari 1945, pasukan Supriyadi menembakkan mortir ke Hotel Sakuran yang menjadi kediaman para perwira Jepang. Markas Kenpetai juga menjadi target sasaran tembak senapan.

Aksi lain dari pemberontakan itu adalah ketika salah seorang bhudancho (bintara PETA) merobek poster bertuliskan "Indonesia Akan Merdeka dirobek." Ia menggantinya dengan tulisan "Indonesia Sudah Merdeka!"

Sayang, Jepang telah mencium pemberontakan tersebut. Kedua bangunan yang jadi target sasaran ternyata sudah dikosongkan. 

Dalam waktu singkat Jepang mengirimkan pasukan untuk membekuk pemberontakan itu. Para pemberontak terpojok. Dinas propaganda Jepang, Kolonel Katagiri menemui shodancho Muradi, salah satu pemimpin pemberontak. Katagiri lantas meminta seluruh pasukan pemberontak kembali ke markas batalyon. 

78 Perwira dan prajurit PETA dari Blitar diseret ke penjara. Mereka diadili di Jakarta. Dari situ enam orang divonis hukuman mati, enam dipenjara seumur hidup, selebihnya dihukum sesuai tingkat kesalahan mereka. 

Sementara itu nasib Supriyadi tak diketahui, ia menghilang tanpa ada seorang yang tahu keberadaannya. Sebagian orang menganggap Supriyadi tewas di tangan tentara Jepang, sebagian lagi yakin Supriyadi masih hidup. 

Meskipun pemberontakan Supriyadi dan yang lain gagal, pergerakannya menyulut anggota PETA dan Heiho yang lain untuk tidak selamanya tunduk pada Jepang. Salah satu yang terinspirasi adalah Slamet Riyadi. Ia lari dari Angkatan Laut Jepang untuk bergabung dengan Supriyadi. Namun sebelum dirinya bergabung, pemberontakan keburu gagal. 

Akhirnya, pada 18 Februari 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, dan Jepang kalah perang oleh Sekutu, Tentara Kekaisaran Jepang membubarkan PETA. Presiden Indonesia Pertama Sukarno, sepakat untuk membubarkan PETA ketimbang mengubahnya menjadi tentara nasional. Hal itu untuk menghindari tuduhan blok Sekutu bahwa Indonesia yang baru lahir adalah kolaborator kekaisaran Jepang bila ia membolehkan milisi yang diciptakan Jepang ini untuk dilanjutkan.

Rekomendasi