Terapi kerja merupakan program keluarga asuh dan pengusaha asuh. Program ini memungkinkan ODGJ bekerja di unit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Pengusaha kue kering rumahan UD Aulia Royana, Andi Ainur Rohman, mengatakan dirinya kini mempekerjakan empat ODGJ. Mereka bertugas membantunya membuat kue kering.
Salah satu dari mereka bernama Sumartin, adik asuh Andi. Andi mengatakan, Sumartin kini jauh lebih baik dari sebelumnya, sejak bekerja dengannya pada 2017.
"Dulu masih kurang stabil, lewat depan rumahnya saja saya takut. Lalu tim puskesmas menangani, tahun 2017 membuat Teropong Jiwa. Adik saya yang dulu takut sekarang alhamdulillah santai, masuk rumahnya berani, bahkan guyon," kata Andi tentang Sumartin, dilansir dari Antara, Kamis (3/10).
UD Aulia Royana berada di Desa Lembahbang Dewo, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi. Pada Senin (30/9), Sumartin tampak sangat terampil mencetak kue satu, kue khas Banyuwangi, di dapur UD Aulia Royana. Perempuan 50 tahun itu tampak biasa saja. Ia tak seperti orang mengalami gangguan jiwa, saat berbincang.
Baca Juga : Melihat Penyandang Disabilitas Mental Nyoblos
Sumartin, yang biasa dipanggil Ibu Tin, mahir membuat aneka kue kering dan basah. Ia kerap berdiskusi dan berkelakar bersama pekerja lainnya.
"Ayo coba tebak usia saya berapa?" kata Ibu Tin sambil mencetak kue ketika ditanya mengenai usianya.
Perempuan yang suka merias diri saat pergi bekerja itu, tertawa ketika usianya ditebak masih 35 tahun. Sumartin bisa bekerja. Kondisinya terjaga stabil karena rutin mengonsumsi obat dari puskesmas.
Ibu Andi, Jamilah, juga rela menjadi keluarga asuh bagi Sumartin. Ia memberikan perhatian lebih kepada Sumartin, yang kadang minta upah lebih banyak atau lebih cepat dari seharusnya.
"Upahnya Rp300 ribu tapi sudah minta Rp350 ribu. Tapi itulah yang hanya ada di sini, tidak ada di tempat lain," kata Jamilah.
Pemberian upah diharapkan bisa menyemangati pasien menjalani kerja sehari-hari mereka dan bergaul dengan warga lainnya. Upaya itu tampaknya cukup berhasil pada Sumartin.
Selain bekerja membuat kue kering, Sumartin bahkan menjual kue-kue basah buatannya saat libur dan menerima permintaan jasa pijat khusus untuk perempuan.
Baca Juga : Membebaskan Para Penderita Gangguan Jiwa dari Pasung
Namun, tidak semua ODGJ binaan Puskesmas Gitik, seperti Sumartin. ODGJ lain, Buang Haryono, misalnya, masih sering senyum-senyum sendiri dan cekikikan sambil tersipu malu ketika diajak berbincang. Haryono tidak terlihat rileks seperti Sumartin, ketika diwawancarai.
Kendati demikian, Haryono mengalami perkembangan. Sebagai petani di lahan milik keluarga, Ia bisa menghitung pendapatan bersih, mengurangi penghasilan kotor dengan modal, dan biaya operasional menanam padi. Haryono bahkan punya rencana menabung keuntungan hasil panennya.
Upaya menurunkan jumlah ODGJ
Kepala Puskesmas Gitik Didik Rusdiono mengatakan, tercatat ada 54 orang dan tujuh di antaranya mengalami pemasungan pada tahun 2017 di wilayah kerja puskesmas. Dengan program yang dinamai 'Teropong Jiwa' itu, Puskesmas Gitik berhasil menurunkan angka pemasungan menjadi nol dan menurunkan jumlah ODGJ menjadi 37 orang.
Teropong Jiwa merupakan kepanjangan dari Terapi Okupasi dan Pemberdayaan Orang Dengan Gangguan Jiwa. Sejak 2017, Puskesmas Gitik menjalankan upaya penemuan ODGJ dan orang yang mendapatkan pemasungan. Tugas tersebut dilakukan kader puskesmas yang dinamai Gardu Jiwa.
Kader Gardu Jiwa mencari dan melapor ke puskesmas saat menemukan ODGJ atau orang yang mengalami pemasungan. Puskesmas akan menindaklanjuti laporan dengan menurunkan tenaga medis, yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh warga dan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas).
Puskesmas Gitik mengirimkan tenaga medis yang telah dilatih menangani masalah kejiwaan untuk merawat orang dengan gangguan jiwa di rumah mereka, dengan bantuan keluarga selama kurun waktu tertentu, sesuai dengan kondisi kejiwaan pasien.
Petugas puskesmas akan melakukan rawat jalan kalau pasien gangguan jiwa dirasa sudah cukup stabil, tidak gaduh gelisah, tidak berkeliaran tanpa arah, dan bisa merawat diri dalam keseharian.
Selama rawat jalan, anggota keluarga atau warga sekitar akan mengantar pasien gangguan jiwa tersebut menjalani perawatan lanjutkan ke puskesmas.
Kepala Program Kesehatan Jiwa Puskesmas Gitik Eko Budi Cahyono mengatakan, puskesmas juga mengadakan kelas terapi setiap satu bulan sekali. Dalam kelas terapi tersebut, orang-orang yang mengalami gangguan jiwa diajak membuat barang kerajinan seperti menganyam dan merangkai bunga atau bermain musik.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi Widji Lestarion, penanganan ODGJ memang harus disertai dengan pemahaman yang benar dari lingkungan. "Karena tidak sama dengan mengobati penyakit. Gangguan jiwa, kita tidak hanya mengobati pasiennya, tapi keluarga dan lingkungan sekitar juga harus diobati. Artinya bagaimana memberikan dukungan penuh terhadap yang diobati," katanya.