Jakarta, era.id
- Jika ada pertanyaan soal apa permasalahan terpenting tentang kemanusiaan di dunia, ada tiga jawaban yang tak pernah berubah selama ribuan tahun: kelaparan, wabah dan perang.Ditulis dalam buku fenomenal Homo Deus (2015) karya Yuval Noval Noah Harari, tiga jawaban itu bergulir dan tak pernah terselesaikan. Jawaban itu terus menyita pikiran orang China abad ke-20, orang India abad pertengahan, hingga orang-orang Mesir kuno.
Menurut Harari, meski angka kelaparan masih tinggi, sejatinya manusia mulai menemukan cara untuk perlahan-lahan mengatasi kelaparan. Namun, tentu saja cara tersebut belum dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan secara merata. "Kita sangat tahu apa yang harus dilakukan dalam rangka mencegah kelaparan, wabah, dan perang," tulis Harari.
Tak meratanya pemenuhan kebutuhan pangan berbuntut pada keajaiban. Memasuki milenium ketiga, tingginya angka kelaparan dibarengi dengan meningkatnya anomali tentang fakta bahwa hari ini lebih banyak orang yang mati karena terlalu banyak makan ketimbang mereka yang mati kelaparan.
"Untuk kali pertama dalam sejarah, kini lebih banyak orang yang mati akibat terlalu banyak makan ketimbang orang yang kurang makan," tertulis.
Ilustrasi kelaparan (Pixabay)
Peralihan peradaban penuh anomali ini digambarkan sempurna oleh Harari dalam bukunya. Segala argumen yang dibangun Harari memperkuat berbagai data yang menyebut dunia tengah mengalami masalah baru tentang surplus pangan dan sampah makanan yang terbuang sia-sia alias waste food.
Dampak dari menggunungnya limbah makanan itu ternyata turut menimbulkan permasalahan baru yang amat serius. Sampah organik makanan diyakini dapat memperparah dampak perubahan iklim.
Dunia penuh Food waste
Masih banyak orang yang belum sadar bahwa menyisakan makanan yang mereka peroleh dapat berujung petaka. Masalah yang diakibatkan tidak main-main. Dampaknya bisa berpengaruh terhadap kerusakan bumi tempat kita tinggal.
Sebelum berbicara soal dampak, perlu diketahui, setiap tahunnya manusia di dunia membuang makanan sebanyak 1,3 triliun ton. Angka itu didapat dari data yang dirilis Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) pada tahun 2018 lalu.
Ironinya, satu per empat dari seluruh jumlah makanan berlebih itu --yang sayangnya terbuang sia-sia-- sejatinya bisa digunakan untuk memberi makan 870 juta orang kelaparan di dunia. Itu pun masih berlebih. Sebab, data PBB mencatat, di tahun 2018, ada 821 juta orang di dunia yang menderita kelaparan.
Selain itu, kerugian dari makanan yang terbuang atau food waste tercatat mencapai sekitar 680 miliar dolar AS di negara-negara industri dan 310 miliar dolar AS di negara-negara berkembang.
Merujuk data tahun yang sama, yakni 2018. Pada tahun itu, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara produsen sampah makanan terbesar di dunia. Indonesia hanya kalah dari Arab Saudi yang menempati peringkat teratas. Tercatat, 13 juta ton sampah makanan terbuang dan jadi sampah setiap tahunnya.
Dampak lingkungan
Sebuah artikel yang ditulis Mongabay pada Juli 2018 lalu menjelaskan bagaimana sampah makanan berkontribusi memperparah dampak perubahan iklim. Catur Yudha Hariani, pegiat pengelolaan sampah dari Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali menjelaskan, sampah makanan dapat menghasilkan gas metan yang jadi penyebab efek rumah kaca.
Berdasar perhitungan, setiap satu ton sampah organik menghasilkan 50 kilogram gas metan. Maka, jika rata-rata produksi sampah makanan yang dihasilkan masyarakat Indonesia mencapai 13 juta ton per tahun, maka dalam satu tahun Indonesia menyumbang 650 kilogram gas metan ke alam raya.
“Salah satunya karena gas metan, dan efeknya 21 kali lebih besar dari CO2. Atmosfer rusak karena kita,” urai Catur.
Di Indonesia, otoritas belum menyentuh ranah pengelolaan sampah makanan. Greenpeace Indonesia menyoroti hal ini. Muharram Atha Rasyadi, Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia mengatakan, secara pamor, masalah sampah makanan tak begitu menonjol ketimbang sampah plastik.
“Besarnya dapat mencapai hingga 50 persen dari sampah yang diproduksi setiap harinya,” kata Atha lewat sambungan telepon, Selasa (16/10).
Ilustrasi sampah (Anto/era.id)
Jurnal Environmental Science & Technology juga mengungkap permasalahan ini. Dalam jurnal itu, dijelaskan bahwa menghindari pembuangan makanan dari hasil pertanian dapat membantu mencegah dampak perubahan iklim, seperti cuaca ekstrem dan kenaikan permukaan laut.
Studi tersebut turut menjelaskan bahwa hasil pertanian adalah pendorong utama perubahan iklim. Terhitung, hasil pertanian menyumbang lebih dari 20 persen emisi gas rumah kaca global secara keseluruhan pada 2010.
Selain itu, penelitian dari Institut Potsdam untuk Penelitian Dampak Iklim memeringatkan, pada tahun 2050, satu per sepuluh dari emisi sektor pertanian dapat ditelusuri kembali ke produksi makanan yang terbuang. Maka, seiring meningkatnya ancaman perubahan iklim, upaya global untuk mengurangi jumlah makanan yang terbuang bukan lagi hal yang dapat ditawar.