Hotel dan Resto: Biang Kerok atau Kambing Hitam Sampah Makanan?

| 17 Oct 2019 13:01
Hotel dan Resto: Biang Kerok atau Kambing Hitam Sampah Makanan?
Ilustrasi (Ilham/era.id)
Artikel ketiga dari SULAM: Ironi Sampah Makanan. Di artikel "Nasib Bumi dalam Ancaman Sampah Makanan", kita telah melihat bahwa lebih banyak orang yang mati karena kebanyakan makan ketimbang kelaparan hari ini. Kita juga tahu, bagaimana makanan yang tidak kita habiskan jadi ancaman bagi lingkungan. Kali ini, kita cari siapa yang paling bertanggung jawab dalam persoalan ini. Benarkah, bisnis hotel, resto, dan swalayan sebagai biang kerok utama?

Jakarta, era.id - Menjadi negara penghasil sampah makanan terbesar di dunia adalah salah satu legitimasi paling valid betapa Indonesia bertanggung jawab amat besar pada perubahan iklim. Berbagai bukti ilmiah menunjukkan bagaimana sampah makanan memperparah perubahan iklim. Bisnis restoran dan hotel disebut sebagai biang kerok utama.

Dalam sebuah artikel yang ditulis Mongabay pada Juli 2018 lalu, pegiat pengelolaan sampah dari Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali Catur Yudha Hariani menyebut, setiap satu ton sampah organik menghasilkan setidaknya 50 kilogram gas metan. Data Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) yang dirilis tahun 2018 menyebut setiap tahun Indonesia memproduksi 13 juta ton sampah makanan. Dengan rujukan data itu, artinya 650 kilogram gas metan diproduksi penduduk di negeri ini.

Sebuah yayasan nonprofit yang bergerak di bidang pangan, Foodbank of Indonesia (FOI) menyoroti persoalan ini. Bagi FOI, ada kelemahan besar dalam pengelolaan makanan berlebih atau food waste di Indonesia. Soal regulasi, misalnya. Menurut FOI, regulasi dapat dimulai dengan mengikat pengelola bisnis perhotelan, restoran, dan swalayan untuk menerapkan pemanfaatan makanan berlebih.

Operasional hotel dan restoran jadi sorotan utama bagi FOI. Menurut mereka, regulasi yang diterapkan nantinya bisa dalam bentuk kewajiban bagi hotel dan restoran untuk menyalurkan makanan berlebih kepada organisasi macam FOI. Dalam perjuangannya, pergerakan FOI berfokus pada penyaluran makanan berlebih kepada kaum miskin.

Selama ini, FOI sejatinya mendapat suplai makanan dari sejumlah hotel, restoran, dan swalayan. Namun, tak semua jenis usaha tersebut yang memiliki kesadaran untuk menyalurkan makanan berlebih mereka.

Berangkat dari pernyataan Wida itu, kami menghubungi Kepala Seksi Akomodasi dan Restoran DKI Jakarta, Ukar. Ia membenarkan. Saat ini, belum ada regulasi terkait pengelolaan sisa makanan atau makanan berlebih di hotel dan restoran.

"Siapa yang mengambil (sisa makanan), pengelolaannya. Biasanya ada kerja sama antara pihak hotel dan restoran. Sebab, bisa saja kan dijadikan makanan ternak atau diolah lagi. Biasanya mereka ada rekanan masing-masing," kata Ukar kepada era.id lewat sambungan telepon, Selasa (15/10).

Meski menyebut tak ada regulasi pengelolaan sisa makanan atau makanan berlebih, Ukar mengaku dirinya kerap cerewet saat melakukan pembinaan terhadap hotel dan restoran terkait pengelolaan sisa makanan. "Kita juga sudah cerewet kalau terkait pengurangan sampah makanan itu, mereka (restoran dan hotel) tergantung dari berapa banyak yang disajikan, diproduksi," ungkapnya.

Ilustrasi (Pixabay)

Biang kerok atau kambing hitam?

Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukmadani juga mengamini bahwa tak ada regulasi apapun dari pemerintah --baik pusat atau daerah-- yang mengikat mereka. Namun, menurutnya, selama ini pihak hotel dan restoran yang ikut dalam persatuan sudah memiliki aturan sendiri terkait pengelolaan makanan berlebih yang mereka produksi.

"Kalau masih ada sisa dan masih bisa digunakan itu masing-masing hotel pasti punya cara sendiri untuk memanfaatkan sisa makanan," kata Hariyadi.

Menurut Hariyadi, caranya macam-macam. Beberapa hotel memberikan makanan berlebih kepada karyawan untuk dibawa pulang. Ada juga hotel yang secara sukarela memberikan makanan tersebut kepada lingkungan sekitar. "Kalau memang sudah tidak bisa lagi dimanfaatkan, biasanya dibagi, mana yang sampah organik mana sampah anorganik," jelasnya.

Salah satu kebijakan yang diungkap Hariadi turut diamini oleh Erica Mulyono, Chef Pastry di Keraton at The Plaza, Jakarta. Menurut Erica, hotel tempatnya bernaung memiliki aturan untuk mengganti setiap makanan yang dipajang setiap delapan jam. Nantinya, makanan yang ditarik itu akan disalurkan ke kantin karyawan. "Jadi, dimakan oleh karyawan. Kita kan punya karyawan sebanyak 189 orang. Jadi kita taruh di sana," kata Erica.

Kembali ke Hariyadi. Ia mengklaim jumlah produksi makanan berlebih atau food waste di lingkungan hotel dan restoran sejatinya sudah jauh menurun. Penurunan ini, menurut Hariyadi tak lepas dari meningkatnya kesadaran tamu dan klien hotel pemesan katering tentang food waste.

"Sampah sisa makanan sekarang makin sedikit. Karena, sekarang itu, ketika pemesanan, sudah dipas (porsinya) begitu. Jadi, artinya kalau lebih, lebihnya juga enggak banyak ... Karena kalau sampai berlebih, itu kan rugi juga, terbuang, dan cost-nya lebih tinggi," ungkap Hariyadi.

Menurut Hariyadi, meski tak terikat regulasi, setiap hotel biasanya memiliki kebijakan mandiri terkait pengelolaan sampah makanan. Pun untuk para awak dapur. Erica mengatakan, chef memiliki tanggung jawab etik untuk memanfaatkan setiap sisa makanan untuk menghindari pembuangan yang sia-sia. Lagipula, keduanya sepakat soal 'waste food is a food cost'.

Tags : food waste
Rekomendasi