Di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, dalam pertemuan dengan Ketua DPR, Bambang Soesatyo (Bamsoet) dan sejumlah anggota dewan lain, Komnas HAM mengungkap hasil tinjauan mereka. Menurut Komnas HAM, kendala keamanan dan infrastruktur jadi penyebab utama banyaknya penderita gizi buruk dan mewabahnya campak di Papua.
"Meskipun mereka punya finansial yang besar, tapi terkait dengan keterbatasan (keamanan dan infrastruktur) itu kadang tidak bisa didelivery dengan baik," kata Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, Selasa (23/1/2018).
Taufan menuturkan, tim bentukan Komnas HAM telah mengumpulkan data dan fakta untuk merefleksikan tragedi campak dan gizi buruk itu. Data dan fakta itu nantinya akan diserahkan kepada seluruh pemangku kepentingan sebagai rujukan dalam pembentukan solusi bagi masyarakat di Papua.
"Tim kita, perwakilan kita di Papua sudah mulai bekerja mengumpulkan berbagai bukti dan fakta kajian untuk kemudian direkomendasikan pada pemerintah. Termasuk pada pimpinan DPR," ujar Taufan.
Dimana DPR?
Ditemui usai pertemuan itu, Bamsoet mengaku DPR tengah menjalin komunikasi dengan sejumlah pemangku kepentingan, mulai dari Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, TNI, Polri dan sejumlah relawan sebagai langkah penanganan, termasuk menyusun formulasi penggalangan bantuan, baik itu dana ataupun tenaga.
"Kami sedang memikirkan bagaimana pernggalangan solidaritas Asmat ini, selain dana juga menggalang perawat dan ahli-ahli gizi dan kesehatan agar ada penyelesaian permanen masalah-masalah mendasar kebutuhan saudara kita disana," kata Bamsoet.
Lebih lanjut, Bamsoet menyampaikan keinginannya membangun kembali budaya kritik di parlemen. Bamsoet meminta segala pihak, dalam hal ini Komnas HAM, agar selalu memberi kritik dan masukan kepada DPR.
"Itu menjadi tugas pokok Komnas HAM, yang harus berdiri di depan, berteriak lantang menyentil pemerintah, menyentil DPR agar bersama-sama menuntaskan penderitaan anak bangsa yang ada di Asmat," tutur Bamsoet.
Ironi Klasik Pemerataan
Pada kesempatan berbeda, Wakil Ketua DPR, Fadli Zon memandang tragedi ini sebagai sebuah ironi klasik, soal pemerataan pembangunan yang seperti mitos. Terus disuarakan, diklaim sana dan sini, namun tak terbukti dalam kehidupan nyata.
“Saya kira ini sangat ironis. Di satu sisi kita selalu membanggakan kemajuan, termasuk persoalan pangan. Kedaulatan pangan. Tapi di sisi lain ada persoalan apa yang terjadi di Asmat ini.," tutur Fadli.
Fadli, dalam dugaannya, melihat tragedi ini sebagai fenomena gunung es, bahwa begitu banyak tragedi serupa yang tak tercium. Menurutnya, tragedi ini harus menjadi momentum pemerintah mengintrospeksi diri mereka, bahwa capaian dalam bidang infrastruktur sejatinya tak begitu mentereng jika melihat banyaknya hal terkait kemanusiaan yang justru terabaikan.
"Saya kira bukan kita menolak infrastruktur, tetapi infrastruktur itu jangan hanya diterjemahkan jalan dan jembatan. Infrastruktur itu, ada juga infrastruktur kesehatan, infrastruktur pendidikan, infrastruktur ekonomi seperti pasar dan sebagainya yang juga penting,” tuturnya.
Lebih lanjut, Fadli menyinggung Idrus Marham, bekas Sekretaris Jenderal (Sekjen) Golkar yang kini menjabat sebagai menteri sosial menggantikan Khofifah Indar Parawansa. Menurut Fadli, langkah Idrus membentuk tim terpadu telah tepat. Namun, pendekatan tersebut masih belum cukup lantaran bersifat kasus per kasus.
“Saudara Idrus Marham, kawan saya sudah tepat untuk sementara ini. Tetapi kan yang perlu dipikirkan kontinuitasnya, sustainabilitynya, jangan kasus per kasus," kata Fadli.