Contoh, dalam sistem e-budgeting APBD Jakarta, belum ada dokumen kebijakan umum anggaran-plafon prioritas anggaran sementara (KUA-PPAS) di tahun 2020 yang diunggah di situs apbd.jakarta.go.id.
Padahal, jika dibandingkan dengan penganggaran pada zaman Ahok, dokumen sudah diunggah sejak tahap awal pembuatan KUA-PPAS 2017 di tahun 2016 mulai dari yang belum dibahas di DPRD.
Meski begitu, Anies mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam laporan keuangan Jakarta tahun 2017 dan 2018 oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Artinya, BPK menganggap Pemprov Jakarta telah menyelenggarakan prinsip akuntansi yang berlaku umum dengan baik.
Opini ini tidak pernah dirasakan Ahok, bahkan Joko Widodo sekalipun selama memimpin Jakarta. Dari tahun 2013 hingga 2016, Jakarta selalu Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Ini berarti adanya ketidakwajaran dalam item tertentu, tapi hal itu tak memengaruhi kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan.
Opini WDP didapat Ahok karena saat itu Pemprov Jakarta tidak memiliki pencatatan aset yang baik, sehingga seringkali diklaim orang lain. Masalah aset ini muncul terus-menerus dalam laporan keuangan BPK.
Jika keterbukaan informasi publik zaman Anies tak lebih baik dari Ahok, mengapa Anies bisa membuat Jakarta mendapat predikat WTP yang tak bisa diraih Ahok?
Sekjen Forum Indonesia Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan bilang, transparansi publik tidak memengaruhi pemberian opini WTP dari BPK. Kata dia, dalam pengawasannya, BPK hanya melakukan uji petik atau hanya beberapa program kegiatan yang dilakukan pemeriksaan.
"Dan pemeriksaannya hanya sebatas prosedur apakah proses yang dilakukan patuh terhadap perundang-undangan atau tidak. Kedua biasanya soal sinergitas antara program Pemprov dengan nasional," ujar Misbah, Rabu (7/11).
Opini WTP yang diberikan BPK kepada suatu pemerintah daerah, bukan berarti menghilangkan potensi korupsi di daerah tersebut. Opini itu hanya sebatas bahwa laporan keuangan yang dilakukan pemerintah daerah sudah sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.
"Misalnya, kalau kasus lem aibon tidak diramaikan, itu secara administrasi benar dan secara transaksional itu sah, karena besaran anggarannya masih dalam standar belanja barang," jelas Misbah.
"Yang jadi problem, dalam sistem penganggaran kan tidak bisa diverifikasi ketika nominal yang diakumulasi menjadi sangat besar. Tapi yang diperiksa biasanya hanya, oh, ini sudah sesuai standar," lanjut dia.