Memalukan MK, Arief Hidayat Diminta Mundur
Memalukan MK, Arief Hidayat Diminta Mundur

Memalukan MK, Arief Hidayat Diminta Mundur

By Moksa Hutasoit | 26 Jan 2018 15:00
Jakarta, era.id - Permintaan agar Arief Hidayat mundur sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) semakin kuat usai dia diganjar sanksi etik. Dewan Etik MK menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan kepada Arief, karena terbukti menemui politikus dan anggota DPR pada November 2017 lalu. Pertemuan itu diduga berkaitan dengan pemilihan hakim konstitusi perwakilan DPR dan pemilihan Ketua MK.

Menanggapi hal itu, Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) menyurati Arief Hidayat untuk segera mundur dari jabatannya. Kasus etik itu dianggap bisa mencemarkan jabatan hakim dan institusi MK.

"Hari ini kami menyampaikan surat cinta untuk Mahkamah Konstitusi, menyatakan bentuk sayang kita terhadap Mahkamah Konstitusi," tutur Ketua PP IPM Virgo Sulianto Gohardi di Gedung MK, Jakarta, Jumat (26/1/2018).

Selain pernah menemui anggota DPR, Arief juga pernah melakukan pelanggaran etik berupa mengirimkan katebelece kepada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung untuk membina salah seorang kerabatnya yang menjadi jaksa.

Arief juga pernah dilaporkan atas dugaan pelanggaran etik bersama dengan tiga hakim konstitusi lainnya pada Maret 2017. Saat itu, Arief Hidayat dilaporkan karena diduga belum melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) bersama ketiga hakim konstitusi lain, Anwar Usman, Aswanto, dan Suhartoyo. 

“Saat memberikan memo terhadap kepentingan pribadi dan yang kedua saat menemui Komisi III (DPR RI) di hotel,” tutur dia.

Dua bukti itu, kata Virgo, cukup menguatkan bahwa Arief tak layak lagi menjabat. Ia berharap tak ada lagi kasus pelanggaran etik selanjutnya.

“Ini soal integritas, soal rasa malu, soal kesadaran pribadi, apakah masih layak menjadi pejabat negara,” kata dia.

Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada 2015 pernah merilis hasil jajak pendapat kepercayaan publik terhadap MK. Hasilnya, MK hanya memperoleh angka 59,1 persen. Angka itu jauh dibanding perolehan KPK 74,9 persen, maupun Presiden 81,5 persen. 

Rekomendasi
Tutup