Soal Naturalisasi VS Normalisasi

| 06 Jan 2020 15:47
Soal Naturalisasi VS Normalisasi
Banjir Jakarta (Dok.BNPB)
Jakarta, era.id - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono berbeda pandangan terkait upaya yang harus dilakukan pemerintah untuk mencegah banjir besar seperti yang menerjang Jakarta di awal tahun ini.

Anies memilih untuk menggunakan program naturalisasi sungai tanpa penggusuran, melainkan menggeser tempat tinggal warga. Sementara Basuki masih sepakat dengan Gubernur DKI Jakarta sebelumnya yaitu Basuki Tjahja Purnama alias Ahok, dengan program normalisasi sungai yang mana warga di sekitar bantaran sungai harus rela direlokasi.

Direktur eksekutif Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja mencoba menjelaskan perbedaan kedua program yang digadang-gadang bisa mengatasi banjir di ibu kota.

Elisa mengatakan, normalisasi seharusnya tidak usah terlalu dikaitkan erat dengan betonisasi seperti pemahaman yang berkembang saat ini. Menurutnya, program normalisasi fokusnya adalah mengembalikan volume sungai supaya tetap bisa menampung debit air.

"Sebenarnya normalisasi mengembalikan volume sungai itu. Jadi sebenarnya tidak ada kaitannya dengan dibeton, yang penting dia dijaga volumenya," kata Elisa di Kantor LBH Jakarta, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (6/12/2020).

Supaya bisa mengembalikan volume sungai, kata Elisa, pemeritah tidak harus membeton daerah disekitaran sungai, tapi bisa dengan cara pengerukan. Pasalnya, dari Daerah Aliran Sungai (DAS) banyak membawa sedimentasi yang mengurangi volume sungai.

Sedimentasi ini, menurut Elisa, sangat sulit untuk dihilangkan bahkan kebanyakan bisa menimbulkan daratan baru. Oleh kerenanya perlu dilakukan pemeliharaan dengan cara pengerukan.

"Sedimentasi itu tidak akan hilang dengan sendirinya karena dia bisa menempel jadi daratan baru. Karena itu normalisasi dalam artian pengerukan, dikeruk sebagai bagaian dari pemeliharaan sungai," paparnya.

Sementara naturalisasi, kata Elisa, pada dasarnya sama saja dengan normalisasi tapi lebih mengedepankan reboisasi atau penanaman kembali. Misalnya, kawasan DAS yang sudah dipenuhi oleh perkebunan atau bangunan bisa diatasi dengan membuat saringan kemudian dilanjutkan reboisasi agar tidak terjadi erosi dasar dan bisa meredam banjir.

"Nah itu bagian dari restorasi atau naturalisasi. Kalau misalnya disisinya sudah gundul, terus ada sedimentasi ternyata cocok ditumbuhi tanaman pelambat arus, itu bisa (dinaturalisasi)," kata Elisa.

Lebih lanjut, Elisa juga mengatakan tidak menutup kemungkinan bagi pemerintah untuk menggabungkan dua program pencegahan banjir tersebut. Menurutnya, normalisasi dan naturalisasi bukan hal yang harus diperdebatkan, tapi bisa juga dipadukan.

Dia mencontohkan Kallang Rivers di Singapura yang memadukan pendekatan normalisasi dan naturalisasi dengan serasi dalam penataan sungai.

"Mereka melakukan pengerukan juga tapi disatu sisi kiri kanan yang dia beton diganti dengan yang alami. Jadi bisa juga itu digabungkan," pungkasnya.

Sementara itu pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Nirwono Yoga menilai, penggabungan konsep normalisasi dan naturalisasi bisa jadi solusi untuk mengatasi persoalan banjir yang kerap terjadi di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. 

"Banyak kota di Eropa, Australia, dan Amerika Serikat yang memadukan pendekatan normalisasi dan naturalisasi dengan serasi dalam penataan sungainya,” kata Nirwon, Minggu (5/1). 

Dalam upaya pengendalian banjir, pemerintah pusat sebenarnya telah bekerja sama dengan Pemprov DKI sejak era Gubernur Fauzi Bowo, yaitu melalui program normalisasi sungai. Namun, program itu terhenti sejak 2017. 

Padahal, seharusnya, program yang menyasar empat sungai yakni Sungai Ciliwung, Sungai Pesanggrahan, Sungai Angke, dan Sungai Sunter itu ditargetkan selesai pada 2022. Sebagai gantinya, Anies menggagas program naturalisasi sebagai bentuk penataan di sepanjang daerah bantaran sungai.

Nirwono menilai, naturalisasi memiliki konsep mengembalikan bentuk sungai ke kondisi alaminya. Dalam hal ini, sungai dibuat meliak-liuk hingga di bantaran sungainya ditumbuhi dengan tanaman lebat untuk mencegah erosi dasar serta meredam banjir. 

"Saat hujan, tanaman di sepanjang sungai akan menghambat kecepatan aliran, muka air naik dan menggenangi bantaran dan tanaman di jalur hijau yang secara alami memang dibutuhkan untuk ekosistem pendukung,” kata dia.

 

Tags : banjir
Rekomendasi