Pernyataan tersebut sontak membuat luka dan menambah rasa pesimis atas sikap pemerintah yang memang tak pernah serius mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
"(Pemerintah) bukan tidak bisa (mengusut pelanggaran HAM), tapi tidak mau," ujar Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar kepada era.id, Jumat (17/1/2020).
Haris juga menegaskan bahwa pernyataan Burhanuddin bertentangan dengan hasil penyelidikan Komnas HAM dan UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang menyatakan bahwa peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan II adalah kasus Pelanggaran HAM berat. Namun kasus-kasus tersebut hingga saat ini belum perbah selesai diusut, menurut Haris semua pelanggaran HAM masa lalu masih menggantung di Kejaksaan Agung.
Tak hanya peritiswa Semanggi dan Trisakti, Haris juga menyebut seabrek pelanggaran HAM yang belum dituntaskan oleh pemerintah, antara lain:
1. Peristiwa 1965-1966
2. Peristiwa Petrus 1982-1985
3. Peristiwa Talangsari 1989
4. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
5. Peristiwa Dukun santet 1998
6. Peristiwa Rumoh Geudong 1989-1998
7. Peristiwa Simpang KKA 1999
8. Peristiwa Trisakti, Semanggi I, Semanggi II
9. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998
10. Peristiwa Wasior 2001.
11. Peristiwa Wamena 2003.
12. Peristiwa Jambu Keupok 2003
"Semua kasus-kasus tersebut terhalang berlanjut karena banyak pelaku duduk di kekuasaan. Kalau ada hambatan, sebaiknya Jaksa Agung mengakui saja, dan lapor Presiden. Jangan lah memutar balikan fakta tanpa pernah bekerja. Kasihan malah terlihat tidak cerdas," katanya.
Kapan DPR Putuskan Peristiwa Semanggi Bukan Pelanggaran HAM Berat?
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebutkan kasus penembakan mahasiswa yang terkenal dengan persitiwa Semanggi I dan II 1998 bukan pelanggaran HAM berat. Hal tersebut dia sampaikan saat rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Kamis (16/1).
"Peristiwa Semanggi I, Semanggi II, telah ada hasil Rapat Paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat," kata Burhanuddin.
Namun Burhanuddin tak menjelaskan lebih lanjut kapan rapat paripurna DPR yang dia maksud digelar. Alasan belum selesainya penanganan HAM berat karena tidak lengkapnya berkas yang disusun oleh penyelidik Komnas HAM.
"Adapun penyebabnya tidak lengkapnya berkas tersebut disebabkan oleh beberapa hal yaitu penyelidik hanya memenuhi sebagian petunjuk hasil penyelidikan tidak cukup bukti hasil penelitian tidak dapat mengidentifikasi secara jelas terduga pelaku pelanggaran," paparnya.
Sementara Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari menilai pernyataan Jaksa Agung soal keputusan peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat kemungkinan diambil oleh DPR RI periode 1999-2004 dan bersifat politik.
Oleh karenanya, NasDem mendorong agar DPR RI bisa mendiskusikan kembali putusan Rapat Paripurna DPR terkait Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II. Sebab hal ini penting untuk demi melahirkan keputusan yang sesuai dengan kondisi dan kepentingan bangsa saat ini.
"Menurut saya pribadi karena itu sebuah keputusan politik, maka yang putusan politik itu masih bisa kita diskusikan kembali, masih bisa kita buka kembali dan bahas kembali," kata Taufik.
Pada masa periode 1999-2005 DPR menyatakan bahwa kasus Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran berat HAM. Tanggal 9 Juli 2001 dalam rapat paripurna DPR yang mendengarkan hasil laporan Pansus TSS, disampaikan oleh WakilKetua DPR Sutarjdjo Surjoguritno didapatkan hasil 3 fraksi yakni F-PDI P, F-PDKB, F-PKB menyatakan kasus Trisakti, Semanggi I dan II terjadi unsur pelanggaran HAM Berat. Sedangkan F-Golkar, F- TNI/Polri, F-PPP, F-PBB, F -Reformasi, F-KKI, F-PDU (7 fraksi) menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat pada peristiwa tersebut.