ERA.id - Maria Catarina Sumarsih, ibu korban penembakan Tragedi Semanggi I, Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan, menegaskan bahwa Prabowo Subianto sudah bisa dikatakan penjahat kemanusiaan dan bukan lagi terduga pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Hal itu disampaikan dalam peringatan "17 Tahun Aksi Kamisan".
"Presiden Jokowi mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat dalam penculikan atau penghilangan orang secara paksa, mestinya Prabowo statusnya sudah tidak terduga lagi. Dia adalah penjahat kemanusiaan. Dia adalah dalang pelaku pelanggaran HAM berat," ungkap Sumarsih di depan Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/1/2024).
Menurutnya, bukti pelanggaran HAM berat yang dilakukan Prabowo adalah video pemecatannya dari kesatuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
"Kalaupun aksi kami saat ini, di dalam spanduknya ada tulisan 'terduga', karena spanduk itu belum rusak. Nanti kalau spanduk itu rusak, saya akan membuat yang baru, kata terduga hilang, karena Presiden Jokowi sudah mengakui terhadap 12 perkara pelanggaran HAM berat, termasuk penembakan anak saya Wawan dalam Tragedi Semanggi I," lanjut Sumarsih.
Perempuan berusia 71 tahun itu juga menuntut agar Presiden Jokowi membawa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu ke Jaksa Agung sesuai Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Masih ada peluang bagi kami keluarga korban, agar di penghujung pemerintahan Presiden Jokowi ini, memberi tugas kepada Jaksa Agung agar melaksanakan UU Pengadilan HAM," ujarnya.
Dalam Pasal 21 Ayat (3) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, disebutkan bahwa "Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat".
"Ini kalau memang Pak Jokowi seorang reformis sejati," ungkap Sumarsih.
Sebelumnya, Presiden Jokowi telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu.
Dalam Keppres tersebut dijelaskan rekomendasi pemulihan bagi korban pelanggaran HAM berat dan keluarganya berupa rehabilitasi fisik; bantuan sosial; jaminan kesehatan; beasiswa; dan rekomendasi lain untuk kepentingan korban dan keluarganya.
Lalu, pada 11 Januari 2023, Presiden Jokowi mengakui adanya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu berdasarkan hasil laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM). Ia turut menyesalkan terjadinya seluruh peristiwa tersebut.
Adapun 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang diakui pemerintah adalah:
- Peristiwa 1965-1966;
- Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985;
- Peristiwa Talangsari, Lampung 1989;
- Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989;
- Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998;
- Peristiwa Kerusuhan Mei 1998;
- Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999;
- Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999;
- Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999;
- Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002;
- Peristiwa Wamena, Papua 2003;
- Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Keluarga korban pelanggaran HAM berat di masa lalu berkumpul tiap Kamis sore di depan Istana Negara untuk meminta keadilan sejak 18 Januari 2007 silam. Dan Kamis (18/1/2024) lalu merupakan peringatan 17 tahun Aksi Kamisan yang dihadiri lebih banyak peserta dari biasanya.
Menurut pantauan ERA, lebih dari 100 orang hadir memadati lokasi aksi. Panggung kecil didirikan untuk pembacaan doa, penampilan musik, refleksi, dan orasi. Selain dihadiri keluarga korban pelanggaran HAM seperti Sumarsih (ibu korban Tragedi Semanggi I, Wawan) dan Paian Siahaan (bapak korban penculikan 1998, Ucok Munandar), aksi kemarin juga dihadiri komika Abdur Arsyad, filsuf Karlina Supelli, dan ekonom Faisal Basri.