Peringati 17 Tahun Aksi Kamisan, Sumarsih Tolak Penyelesaian Non-Yudisial Kasus Pelanggaran HAM Berat

| 19 Jan 2024 20:53
Peringati 17 Tahun Aksi Kamisan, Sumarsih Tolak Penyelesaian Non-Yudisial Kasus Pelanggaran HAM Berat
Maria Catarina Sumarsih, ibu korban penembakan Tragedi Semanggi I, Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan dalam peringatan 17 Tahun Aksi Kamisan di depan Istana Negara, Kamis (18/1/2024). (ERA/Agus Ghulam)

 ERA.id - Maria Catarina Sumarsih, ibu korban penembakan Tragedi Semanggi I, Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan, menolak penyelesaian non-yudisial kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dalam peringatan "17 Tahun Aksi Kamisan".

Menurutnya, selama penyelesaian yudisial belum ditempuh, tak ada jalan lain untuk memperoleh keadilan bagi keluarga korban yang ditinggalkan.

"Yang hadir di Aksi Kamisan itu tidak hanya keluarga korban pelanggaran berat HAM, tapi ada penggusuran, ada dari warga Pakel, dll. Tuntutan kami kepada pemerintahan Presiden Jokowi yang tinggal beberapa bulan ini agar Presiden Jokowi setelah mengakui terjadinya perkara pelanggaran HAM berat, mestinya harus segera ditindaklanjuti di dalam kaitannya dengan penyelesaian secara yudisial," ungkap Sumarsih di depan Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/1/2024).

"Melalui Aksi Kamisan ini, kami menolak penyelesaian secara non-yudisial. Masih ada peluang bagi kami keluarga korban, agar di penghujung pemerintahan Presiden Jokowi ini, memberi tugas kepada Jaksa Agung agar melaksanakan Undang-Undang (UU) Pengadilan HAM," lanjutnya.

Sumarsih menyinggung pernyataan Jokowi di koran Kompas di mana ia mengaku sebagai "anak kandung reformasi". Bagi ibu berusia 71 tahun itu, Jokowi hanya bisa membuktikan dirinya seorang reformis jika berani mengadili pelaku pelanggaran HAM berat sebelum habis masa jabatannya.

"Ini kalau memang Pak Jokowi seorang reformis sejati," ujarnya.

Dalam Pasal 21 Ayat (3) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, disebutkan bahwa "Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat". 

Sebelumnya, Presiden Jokowi telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu.

Dalam Keppres tersebut dijelaskan rekomendasi pemulihan bagi korban pelanggaran HAM berat dan keluarganya berupa rehabilitasi fisik; bantuan sosial; jaminan kesehatan; beasiswa; dan rekomendasi lain untuk kepentingan korban dan keluarganya.

Lalu, pada 11 Januari 2023, Presiden Jokowi mengakui adanya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu berdasarkan hasil laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM). Ia turut menyesalkan terjadinya seluruh peristiwa tersebut.

Adapun 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang diakui pemerintah adalah:

  1. Peristiwa 1965-1966;
  2. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985;
  3. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989;
  4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989;
  5. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998;
  6. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998;
  7. Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999;
  8. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999;
  9. Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999;
  10. Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002;
  11. Peristiwa Wamena, Papua 2003;
  12. Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.

Keluarga korban pelanggaran HAM berat di masa lalu berkumpul tiap Kamis sore di depan Istana Negara untuk meminta keadilan sejak 18 Januari 2007 silam. Dan Kamis (18/1/2024) lalu merupakan peringatan 17 tahun Aksi Kamisan yang dihadiri lebih banyak peserta dari biasanya.

Menurut pantauan ERA, lebih dari 100 orang hadir memadati lokasi aksi. Panggung kecil didirikan untuk pembacaan doa, penampilan musik, refleksi, dan orasi. Selain dihadiri keluarga korban pelanggaran HAM seperti Sumarsih (ibu korban Tragedi Semanggi I, Wawan) dan Paian Siahaan (bapak korban penculikan 1998, Ucok Munandar), aksi kemarin juga dihadiri komika Abdur Arsyad, filsuf Karlina Supelli, dan ekonom Faisal Basri.

Rekomendasi