Wakil Gubernur DKI Jakarta yang ditemui era.id di Balai Kota DKI beberapa waktu lalu mengatakan, pengukuhan nama AH Nasution sebagai nama jalan dapat jadi salah satu cara paling asyik untuk memberi penghormatan pada kepahlawanan sang Jenderal Besar.
“Jadi kita nanti ya tentunya harus selalu menghargai jasa-jasa pahlawan kita. Saya menginstruksikan, seandainya sudah melewati proses semua, ya tentunya nanti diberikan penghormatan kepada beliau," kata Sandi.
Ditemui di kesempatan lain, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan juga mengungkap pandangan yang sama. Menurut Anies, kebesaran AH Nasution sangat layak untuk diabadikan sebagai nama jalan.
Apalagi, menurut Anies, belum ada ruas jalan di ibu kota yang menggunakan nama penggagas perang gerilya itu. "Nanti kami akan tindaklanjuti. Karena ada yang unik, ada seorang tokoh penting dalam pengamanan Pancasila, yaitu AH Nasution, justru beliau belum dikenang sebagai nama salah satu jalan (di DKI Jakarta)," kata Anies.
Berbeda dengan Anies dan Sandi, sejumlah tokoh betawi justru menolak usulan ini. Mereka khawatir, penggantian nama ini malah menghilangkan memori kolektif budaya betawi yang telah terwariskan turun-temurun.
Sejarawan Universitas Indonesia (UI), JJ Rizal bahkan mengkritisi sikap pemprov yang tak sesuai dengan janji politik selama masa kampanye, melestarikan tradisi dan budaya lokal Jakarta sebagai orientasi pembangunan. "Dalam nama itu tersimpan sejarah dan kearifan tradisi masyarakat lokal Betawi," kata JJ.
(Ilustrasi: Abid/era.id)
Asal usul nama Mampang Prapatan
JJ benar. Nilai-nilai sejarah dan kearifan tradisi masyarakat betawi yang terkandung dalam nama Mampang Prapatan nyatanya sangat kuat. Zaenuddin HM, dalam "212 Asal Usul Djakarta Tempo Doeloe" menjelaskan asal-usul di balik nama Mampang Prapatan. Kata Mampang Prapatan berasal dari dua suku kata, yakni "Mampang" yang artinya terpampang atau terlihat dan Prapatan yang berarti perempatan. Nama Mampang sendiri sejatinya terkait erat dengan seorang tokoh yang menjadi ikon kepahlawanan di kawasan itu.
Hasan adalah seorang anak Tabrani. Ia tak lahir di Mampang. Di usia kecilnya, Hasan tinggal di Kramat Jati, bersama sang ibu, Zainab. Saat berumur tiga tahun, sang ibu meninggal, hingga Hasan harus berpindah asuh ke pelukan sang kakek dan nenek.
Maka, berpindahlah Hasan dari Kramat Jati ke Mampang. Dari sebelah timur menuju sisi selatan Jakarta. Di sana, Hasan hidup penuh kesederhanaan. Kakeknya adalah seorang penggembala sapi yang sesekali menggarap lahan perkebunan milik tetangganya.
Nama Hasan tak sebesar Nasution, namun kisah kepahlawanannya sangat melekat. Di usianya yang menjelang dewasa, Hasan menyadari bahwa kehidupan masyarakat di Mampang kala itu ditindas oleh seorang tuan tanah bernama Lie Ceng Hun yang selalu menarik pungutan liar kepada masyarakat. Termasuk Bisri, kakek Hasan yang juga sering diperas dan diintimidasi.
Di usia 12 tahun, Hasan memutuskan pergi dari Mampang untuk mempelajari ilmu bela diri. Dua tahun setelahnya, Hasan kembali ke Mampang dan menularkan ilmu bela dirinya ke sejumlah pemuda di Mampang. Dengan kemampuan bela diri yang dimiliki, Hasan dan kawan-kawannya berhasil melawan kezaliman Lie Ceng Hun, deretan tukang pukulnya dan membebaskan masyarakat dari penderitaan akibat pemerasaan dan tindak kesewenang-wenangan.