"Dalam Pasal 69 huruf b telah jelas dikatakan bahwa dalam masa kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon gubernur, calon wakil gubernur, calon bupati, calon wakil bupati, calon wali kota, calon wakil wali kota, dan/atau partai politik," kata Dewi, di Jakarta, Minggu (4/2/2018).
Namun, Dewi mengakui dalam UU Pilkada tidak diatur rinci mengenai definisi politik identitas dan batasan menghina. Adapun larangan, kata Dewi, hanya sebatas melarang menggunakan isu SARA dalam semua kegiatan dan tahapan pilkada.
"Kata menghina ini kan luas, sementara UU Pilkada tidak mendetailkan kata menghina tersebut. Kami bisa saja mendetailkannya, tetapi bukan hal substansial, kecuali yang operasional. Jika UU tidak menguraikan kata menghina, maka acuan bawaslu adalah kata menghina sebagaimana diatur KUHP," ujarnya.
Hal lain yang menurut Dewi bisa memunculkan persoalan adalah larangan menggunakan isu SARA dalam UU Pilkada hanya berlaku pada masa kampanye. Masa kampanye dimulai tiga hari setelah penetapan pasangan calon hingga tiga hari sebelum pemungutan suara.
Di luar waktu tersebut, kata Dewi, Bawaslu tidak bisa mengawasinya. Dia juga menyayangkan singkatnya waktu untuk menangani dugaan pelanggaran masa kampanye.
"Ini sama halnya Bawaslu tidak bisa menindak akun-akun medsos di luar akun resmi pasangan calon," ujar Dewi.
Menurut Dewi, politik SARA semakin sering digunakan, khususnya di media sosial, pada 2017, sebelum dan sesudah Pilkada DKI Jakarta. Bawaslu akan bekerja sama dengan beberapa lembaga untuk menindak dan mencegah politik SARA.