Pemerintah berencana merelaksasi atau melonggarkan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) agar karena memengaruhi aktivitas warga dan kehidupan ekonomi di tengah pandemi virus korona baru. Apakah perlu melonggarkan PSBB atau memang sudah 'longgar'?
Jakarta, era.id - Penerapan PSBB pertama dimulai dari Provinsi DKI Jakarta yang ditetapkan sejak 10 April lalu dan diperpanjang hingga 22 Mei dan menyusul tiga provinsi dan 72 kabupaten/kota lainnya hingga saat ini.
Setelah 14 hari berjalan dan diperpanjang sekali lagi, penerapan PSBB bakal memasuki babak baru lantaran pemerintah akan merelaksasi aturannya agar warga usia produktif di bawah 45 tahun bisa tetap mencari penghasilan. Selain itu, Presiden Jokowi juga meminta warga 'berdamai' dengan virus paling menular di dunia itu.
Kami merekam aktivitas warga Jakarta selama penerapan PSBB terutama di wilayah perkampungan. Meski berbagai sanksi mengancam para pelanggar PSBB, warga Jakarta nampaknya banyak yang acuh tak acuh. Terbukti masih banyaknya aktivitas warga yang tak banyak berubah sebelum dan sesudah PSBB.
Misalnya di kawasan Bukit Duri, Manggarai, Jakarta Selatan. Sejak awal pelaksanaan PSBB tak banyak aktivitas warga yang berubah, misalnya berkumpul di malam hari hanya untuk bermain karambol.
Padahal, jika merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Pasal 13 disebutkan salah satu pelaksanaan PSBB adalah pembatasan kegiatan sosial dan budaya.
Tak hanya itu saja, saran pemerintah untuk menerapkan jaga jarak atau physical distancing pun diabaikan. Hal itu bisa dilihat dari berjubelnya warga di pasar kaget yang tiap pagi maupun sore dipadati pedagang dan pembeli. Satu-satunya protokol kesehatan yang dipatuhi hanyalah penggunaan masker.
Ilustrasi (Iman Herdiana/era.id)
Beberapa warung kopi pun juga masih nampak menerima pelanggan, padahal menurut Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020, masyarakat hanya boleh memesan take away atau dibungkus.
"Pembatasan sosial yang ekstrem sih enggak ya, cuma untuk PSBB wilayah cukup nerapin sih. Tapi pasar masih ramai, macet pula," ujar Raden salah satu warga Bukit Duri kepada era.id, Rabu (13/5/2020).
Menyikapi PSBB yang hanya setengah hati dijalani, Raden mengaku kebanyakan warga Bukit Duri memang cuek. Kalaupun ada obrolan di tongkrongan, mereka hanya mengeluhkan betapa hidup menjadi kian berat semenjak PSBB diberlakukan.
"Enggak jauh obrolan dari berentinya kapan, kehidupan makin sulit, apa-apa susah," kata Raden.
Tetapi banyak juga warga yang patuh dengan anjuran pemerintah untuk tidak mudik atau pulang kampung. Beberapa orang mengaku merasa sia-sia jika harus mudik, toh di kampung halaman status mereka otomatis menjadi ODP.
Hal serupa juga ditemui di bilangan Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Saat bulan Ramadan ini, warga masih khusyuk salat Tarawih di masjid. Padahal pemerintah selalu menganjurkan agar ibadah Ramadan kali ini dari rumah saja. Razia masjid dan musala sering digelar oleh polisi dan Satpol PP. Namun, mereka menyiasatinya dengan mematikan pengeras suara dan lampu luar masjid.
"Ya mau gimana, masa salat dilarang?" kata salah seorang warga yang enggan menyebutkan namanya.
Bahkan pada masa-masa awal pemberlakuan PSBB, sejumlah masjid dan musala di wilayah Pekayon sempat didatangi aparat kepolisian, yang kemudian memberikan peringatan sekaligus membubarkan jemaah.
Tapi peringatan itu seolah hanya angin lalu, nyatanya sampai detik ini masih banyak masjid dan musala yang menggelar salat tarawih berjemaah.
"Jemaahnya memang lebih dikit dari biasanya. Dulu kan hari pertama aja full, sekarang cuma 2 atau 3 saf saja udah bagus,” lanjutnya.
Selain itu, kami juga mendapati jalanan yang masih ramai dan dipadati kendaraan di perbatasan Jakarta dengan kota penyangganya. Jalan Raya Bogor yang menjadi salah satu akses kendaraan dari dan ke Bogor, Depok, dan sekitarnya terlihat masih ramai saat pagi dan sore hari. Setali tiga uang dengan Jalan Raya Bogor, kawasan Kali Malang juga masih ramai.
Memang aparat pengawas penerapan PSBB mendirikan check point di kawasan perbatasan, tetapi dari pengalaman kami di kawasan Kali Malang perbatasan Jakarta dan Bekasi, penjagaan mulai tak begitu ketat pada seminggu belakangan.
Pada awal penerapan PSBB petugas gabungan TNI, Polri, dan Dishub menyetop tiap kendaraan yang lewat. Mobil hanya boleh terisi setengah dari kapasitas, motor dilarang berboncengan, ojek dilarang bawa penumpang, dan pengendara wajib memakai masker.
Ilustrasi (Irfan/era.id)
Saat ini, petugas juga seakan mengacuhkan penerapan PSBB. Mereka hanya memantau pergerakan kendaraan, tak menegur pengendara motor yang berboncengan, dan hanya melambaikan tangan isyarat untuk berjalan terus kepada mobil. Padahal saat itu adalah jam sibuk jelang buka puasa dan pulang kantor.
Diperketat Sebelum Dilonggarkan
Sementara itu, Epidemiolog Universitas Padjadjaran, dr Pandji Fortuna Hadisoemarto, bilang PSBB belum perlu direlaksasi karena angka penularan per hari masih tergolong tinggi.
"Tampaknya walaupun PSBB berhasil turunkan transmisi, tapi masih ada sisa transmisi yang menyebabkan kita masih bisa melihat kasus-kasus baru setiap hari. Dan kalau ini jalan terus kita berpotensi mengalami wabah ini sampai pertengahan atau awal tahun 2024," kata Panji Fortuna, Rabu (13/5).
Simulasi wabah COVID-19 yang berlangsung hingga 2024 memperkirakan jumlah orang terinfeksi bisa mencapai jutaan orang. Panji juga menghitung skenario kedua. Skenario ini dari hasil simulasi PSBB yang ditambah pengetatan, hasilnya, pandemi COVID-19 bisa berkurang sampai habis dalam tempo sebulan saja.
"Tapi sebaliknya kalau dilonggarkan sedikit saja kita bisa melihat ledakan kasus yang lebih besar," ujarnya.
Kesimpulannya, PSBB perlu diperketat kalau targetnya ingin menurunkan kasus COVID-19 dalam waktu cepat.