Koordinator Sub Divisi Deteksi Dini dan Pelacakan Kontak Dedi Mulyadi bilang, masing-masing desa yang terpapar memiliki jumlah orang positif antara satu dua orang sampai 23 orang.
“Saat ini juga semakin berkembang per hari kemarin (Rabu, 10/6) datanya sudah mencapai hampir 670 desa yang warganya ada yang terpapar dari sekian banyak desa kelurahan di Jabar kurang lebih 6000. Kami melihat bahwa provinsi harus menyikapi ini terutama pada titik-titik level kewaspadaan kritis atau level yang hitam,” kata Dedi, dalam keterangan persnya, Jumat (12/6/2020).
Dari jumlah tersebut, ada sekitar 54 desa/kelurahan yang memeng jumlah warga terpaparnya lebih dari 6 orang dan tercatat ada peningkatan kasus baru setiap 14 hari masa inkubasi. Desa atau kelurahan yang memiliki lebih dari 6 kasus kemudian ditetapkan pada level kritis dan diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Mikro (PSBM).
Desa-desa kritis tersebut terutama tersebar di 13 kabupaten/kota, yaitu Kabupaten/Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten/Kota Bekasi, Kota Tasikmalaya, Kota Sukabumi, Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, dan Kabupaten Subang.
Dedi menjelaskan, pendekatan PSBM dilakukan berdasarkan hasil pelacakan kontak terhadap pasien positif COVID-19. Pelacakan ini menghasilkan data orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), dan orang tanpa gejala (OTG).
Selanjutnya dilakukan tes swab dan pemberian alat perlindungan diri (APD) terhadap warga desa. Sementara orang yang dinyatakan ODP, PDP maupun OTG dilakukan isolasi mandiri maupun isolasi di fasilitas kesehatan terdekat.
Selama proses isolasi, warga yang diisolasi mendapatkan makanan tiga kali sehari senilai Rp22.500 selama 14 hari. Dengan demikian diharapkan tidak terjadi transmisi penularan baru sekaligus memutus mata rantai penularan.
Namun melakukan PSBM di level desa atau kelurahan tidaklah mudah. Sebab banyak masyarakat desa yang belum paham terhadap COVID-19. Perlu sosialisasi atau edukasi agar masyarakat terbuka. Kurangnya sosialisasi akan membuat penolakan seperti yang terjadi di Cileungsi.
Seperti diketahui, sebuah video penolakan tes virus korona oleh pedagang di Pasar Cileungsi viral di media sosial. Pedagang menolak tenaga medis yang akan melakukan tes masif COVID-19.
“Jadi tidak kemudian masyarakat menjadi terhantui dengan adanya kasus posistif, kemudian masyarakat menolak untuk melakukan isolasi mandiri apalagi tes swab seperti yang terjadi di Cileungsi. Ini perlu ada edukasi, pembelajaran, ke masyarakat supaya kemudian masyarakat bisa menerima bahwa kondisi COVID ini bukan aib kemudian kita selesesaikan bersama-bersama,”
katanya.
Ia juga mengingatkan, anggota masyarakat yang positif COVID-19 agar tidak disudutkan atau diasingkan. “Kuncinya bagaimana imun si masyarakat itu tetap tinggi, bukan gara-gara disudutkan, diasingkan, dikarantina, disudutkan imunnya drop gara-gara itu padahal sebenarnya yang bersangkutan orang tanpa gejala,” ungkap Dedi.