Sebab lembaga antirasuah tersebut menilai, terdakwa kasus korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik itu belum menyampaikan secara gamblang terkait kasus yang merugikan negara Rp2,3 triliun tersebut.
“Orang bisa menulis apa saja di buku yang ia pegang. Buku itu baru akan berharga kalau dalam konteks posisi, misalnya, SN sebagai pemohon JC (justice collaborator), sampaikan (isi buku) itu dalam proses persidangan,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, (7/2/2018).
Sebelum Novanto menguraikan di persidangan, lanjut Febri, buku itu tidak bernilai di mata KPK. Sama halnya dengan buku catatan pada umumnya.
Apa yang disampaikan Novanto selama ini--dalam proses penyidikan--masih sama dan belum ada substansi baru terkait kasus korupsi e-KTP.
“Belum ada keterangan baru dan signifikan. Jadi masih nama-nama lama sesuai dengan informasi yang kita dapatkan,” tambah Febri.
Terkait status justice collaborator yang diajukan Setya Novanto, kata Febri, KPK masih belum menentukan nasib permohonan tersebut. Kendati demikian, masih ada kesempatan bagi Novanto menjadi JC.
“Masih ada kesempatan bagi SN kalau serius mengajukan JC,” tutup Febri.
Buku catatan Novanto di persidangan (Tasha/era.id)
Sesaat sebelum persidangan pada Senin (7/2) lalu, buku hitam milik Setya Novanto tersebut tersingkap saat diletakan di atas pangkuannya. Tampak beberapa tulisan tangan dan yang menarik perhatian tertulis justice collabolatator. Kata itu ditulis dengan tinta hitam dengan tiga tanda seru yang digoreskan dengan tinta berwarna merah.
Selain ada kata justice collaborator ada juga tulisan dengan tinta hitam yaitu 'Nasaruddin' dengan garis ke bawah dan bertulisan USD 500.000. Kata lain yang cukup mengejutkan, adalah kata 'Ibas' dan 'Ketua Fraksi' di buku itu.