Strategi Pemerintah Agar Masyarakat Tenang dan Waspada COVID-19

| 19 Jun 2020 19:17
Strategi Pemerintah Agar Masyarakat Tenang dan Waspada COVID-19
Dokter Reisa Broto Asmoro (Dok. BNPB)

Dalam penyampaian perkembangan penanganan COVID-19, pemerintah memiliki protokol komunikasi publik tersendiri. Menurut mereka, kepercayaan publik perlu dibangun dan dijaga agar tidak terjadi kepanikan dalam masyarakat dan agar penanganan dapat berjalan lancar.

Jakarta, era.id - Salah satu instruksi yang diberikan Presiden Joko Widodo adalah pemerintah harus menunjukan bahwa Pemerintah serius, Pemerintah siap dan Pemerintah mampu untuk menangani outbreak ini.

Persepsi tentang kesiapan dan keseriusan Pemerintah perlu disampaikan kepada publik melalui penjelasan yang komprehensif dan berkala, dengan menjelaskan apa yang sudah dan akan dilakukan oleh Pemerintah.

Strategi komunikasi publik dalam penanganan COVID-19 bertujuan menciptakan masyarakat yang tenang, dan paham apa yang mereka harus lakukan bagi lingkungan terdekatnya. 

Pemerintah bahkan mengutip pernyataan psikoterapis kenamaan Anthony de Mello dalam latar belakang komunikasi publiknya. De Mello pernah mengingatkan bahwa jumlah korban bisa menjadi lima kali lipat, kalau terjadi ketakutan di saat terjadi wabah penyakit. 

"Seribu orang menjadi korban karena sakit, sedangkan empat ribu orang menjadi korban karena panik. (Mello, A. D. (1997). The heart of the enlightened: a book of story meditations. Glasgow: Fount Paperbacks)," tulis dokumen Protokol komunikasi publik dalam penanganan COVID-19 yang diperoleh era.id, Jumat (19/6/2020).

Oleh karena itu, narasi utama dalam penyampaian komunikasi oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah kepada masyarakat yaitu 'Pemerintah Serius, Siap dan Mampu Menangani COVID-19', 'Masyarakat Tetap Tenang dan Waspada', 'COVID-19 Bisa Sembuh', #LAWANCOVID19.

Tim komunikasi juga dilarang menggunakan kata genting atau kritis demi menjaga agar masyarakat tidak panik. 

Maka dari itu, saban hari --sejak 2 Maret 2020-- kita menonton Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19, Achmad Yurianto serasa 'template' dalam menyiarkan perkembangan penanganan COVID-19, yaitu mengumumkan jumlah kasus positif, sembuh dan meninggal; selalu mengimbau masyarakat untuk terus waspada; memakai masker; jaga jarak; dan rajin mencuci tangan.

"Sekarang temanya adaptasi kebiasaan baru," ujar Yuri saat dikonfirmasi, Jumat (19/6/2020).

Achmad Yurinato (Dok. BNPB)

Yuri enggan berkomentar soal dokumen Protokol komunikasi publik dalam penanganan COVID-19. Menurutnya yang terpenting adalah masyarakat bisa waspada dan terhindar dari COVID-19.

Bukan hanya Yuri, belakangan nama dokter Reisa Broto Asmoro masuk menjadi tim komunikasi Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Reisa bertugas mengedukasi masyarakat, sedangkan Yuri soal data.

"Bukan dibagi, tapi dikerjakan bersama. Sementara Reisa lebih ke arah edukasi, saya ke kinerja data. Nanti bisa tukar," ucap Yuri.

Selain Yuri dan dokter Reisa, ada juga motivator ngetop seperti Merry Riana dan Tung Desem Waringin yang kerap berbicara seputar COVID-19 di kanal YouTube BNPB sebagai saluran resmi Gugus Tugas.

Merry dan Tung Desem beberapa kali menjadi narasumber dalam talk show yang diselenggarakan Gugus Tugas. “Apa pun yang terjadi, you have to get up, dress up, show up and never give up,” pesannya pada talk show 16 Juni lalu.

Merry Riana (Dok. BNPB)

Sedangkan Tung Desem lebih banyak menceritakan pengalamannya menjadi pasien COVID-19 serta kiat-kiatnya sembuh dari virus paling menular di dunia itu.

Baik Merry dan Tung Desem belum bersedia berkomentar soal protokol komunikasi publik itu.

Lebih Personal

Pakar komunikasi politik dari Universitas Telkom Dedi Kurnia menyoroti kemunculan dokter Reisa maupun Merry Riana. Menurutnya, pemerintah mencoba menampilkan sosok yang mempunyai daya tarik sebagai strategi komunikasi publik.

"Komunikasi publik pemerintah yang diperlukan bukan personalnya, tetapi materi pesan yang disampaikan, bahkan dengan mengganti personal yang bukan dari pemerintah, semakin mengurangi nilai kepercayaannya," ujar Dedi saat dihubungi.

Menurutnya, selain sosilaisasi protokol pencegahan COVID-19 dan menginformasikan data, sebaiknya pemerintah juga perlu menyampaikan apa yang sudah dilakukan untuk menaggulangi penularan virus korona.

"Bukan soal jumlah yang terpapar, tapi soal hasil kerja pemerintah dalam proses penanganan. Kalau pesannya hanya soal jumlah terpapar, itu cukup pihak rumah sakit," katanya.

Pemerintah, kata Dedi, dinilai gagal memahami fungsi seorang juru bicara. Dengan mengganti tokoh populer, menurutnya, justru mengesankan hanya membangun image, bukan membangun kesadaran dalam membentuk relasi dengan publik.

Talk Show Gugus Tugas (Dok. BNPB)

Dedi mengapresiasi tujuan pemerintah agar rakyat tidak panik, tetapi pemerintah juga harus membuat batasan yang lebih fokus, yaitu menyampaikan hal yang terkait dengan kebijakan dalam penanganan, bukan hal lain yang bisa saja menjadi ranah swasta.

"Untuk itu, tidak relevan jika tokoh di luar pemerintah seolah mewakili karena mereka tidak punya relasi yang kuat dengan warga negara, ekonomi akan lebih baik jika yang menyampaikan Kementerian Perekonomian, begitu juga dengan lainnya," paparnya.

Sementara itu, peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menyoroti komunikasi pemerintah pusat dan daerah yang belum satu suara dalam penanganan COVID-19.

"Kita harapkan pemantiknya itu COVID-19," kata Siti dalam diskusi daring yang disiarkan pada akun Youtube LIPI di Jakarta, Jumat (19/6/2020).

Siti mengatakan kurang baiknya komunikasi dan sinergi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah merupakan 'penyakit lama'. 'Penyakit' itu kemudian terlihat lagi saat COVID-19 datang ke Indonesia.

Namun, mau tidak mau dan suka tidak suka, COVID-19 menjadi pembelajaran berharga bagi pemerintah pusat, provinsi, serta kabupaten/ kota untuk mengambil kebijakan yang matang sebelum disampaikan kepada masyarakat.

 

Tags :
Rekomendasi