Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengatakan, di tahun tersebut, wartawan akan rawan mendapatkan kekerasan, intimidasi dan persekusi dari banyak kalangan.
"Di tahun politik ini, khususnya Pilkada 2018 rawan terjadi kekerasan, intimidasi dan persekusi. Karena yang pasti namanya tahun politik, ketika situasi kampanye, situasi politik, partai politik atau paslon tertentu, tidak suka dengan sebuah pemberitaan, ini membuat wartawan rentan. Apalagi ditambah 2019, itu jelang Pilpres," kata Koordinator Divisi Advokasi AJI, Erick Tanjung dihubungi era.id, Jakarta, Kamis (9/2/2018).
Dugaan tadi bukan tanpa alasan. Berkaca dari tahun 2017, di mana Pilkada DKI Jakarta digelar. Konstalasi politik yang panas, membuat jurnalis ketiban pulung. Banyak jurnalis dan medianya, jadi korban persekusi dan intimidasi dari kelompok pendukung yang berebutan kursi DKI-1 itu.
"Untuk dievaluasi tahun kemarin, kekerasan jurnalis banyak terjadi di DKI Jakarta, ketika Pilkada Jakarta. Banyak intimidasi terhadap wartawan, seperti saat demo 411 atau 212 dan seterusnya. Di situ ada intimidasi dan persekusi yang terjadi kepada wartawan yang tidak suka dengan pemberitaan di medianya," tambah Erik.
(Infografis: Yuswandi/era.id)
Karenanya, di tahun 2018 ini, AJI berharap jurnalis dan media massa menjaga kode etik dan independensinya. Ini dianggap bisa membuat suasana lebih tenang.
Jurnalis, kata Erik, harus memberikan informasi kepada publik secara benar dan berimbang. Sedangkan untuk media massa, dia harapkan, di tahun politik ini, tidak menjadi corong partai tertentu.
"Harus independen. Jangan sampai media dimanfaatkan oleh kepentingan politik tertentu. Jangan jadi corong dan harusnya kepentingannya adalah kepentingan publik yang lebih luas," tuturnya.
Di sisi lain, dia juga berharap agar pemerintah, masyarakat, aparat kepolisian dan partai politik, harus paham Undang-undang Pers. Di mana, wartawan atau jurnalis dalam menjalankan tugas-tugas kejurnalistiknya mulai dari menghimpun, menggali, meliput, memotret, mengolah data, itu dilindungi Undang-undang Pers nomor 40 tahun 1999.
"Artinya itu harus dihormati semua pihak," tuturnya.
Selain itu, ketika ada masalah terhadap pemberitaan, semua pihak diharapkan menyelesaikannya dengan cara yang beradab dan bukan lewat intimdasi atau persekusi. Kata Erik, sengketa seperti ini bisa diselesaikan melalui koridor yang sudah diatur.
"Ketika ada pemberitaan atau satu pihak merasa disudutkan, ada berita yang tidak seimbang, maka gunakan cara-cara yang beradab. yaitu minta hak jawab, yang pertama, kalau ini tidak dipenuhi bisa dilanjutkan ke dewan pers. kalau media televisi bisa dilaporkan ke KPI, kalau perkaranya sengketa berita bisa dilaporkan ke dewan pers," ujar dia.