Iklan penawaran rapid test makin marak belakangan. Hasil Rapid test nonreaktif memang menjadi syarat utama bagi warga yang ingin beraktivitas atau keluar kota dengan alat transportasi di era kenormalan baru.
Akibatnya, 'jasa' rapid test berpotensi menciptakan komersialisasi atau bisnis baru.
Jakarta, era.id - Pada April 2020, Petrus Hariyanto, seorang pasien cuci darah diwajibkan menjalani rapid test (tes cepat) dan tes swab (air liur) atau polymerase chain reaction (PCR) di Rumah Sakit (RS) Siloam Asri, Duren Tiga, Jakarta Selatan. Ia lalu melayangkan protes kepada manajemen rumah sakit.
Pihak rumah sakit beralasan, tes Coronavirus disease 2019 (COVID-19) itu dilakukan untuk melindungi pasien dan tenaga medis agar tak terpapar virus. Harganya, menurut informasi dari Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia, sekali rapid, Petrus harus merogoh kocek Rp250.000.
Selain di RS Siloam Asri, layanan rapid test juga tersedia di berbagai rumah sakit seperti di RS Pertamina Pusat yang membanderol layanan tes berbasis antibodi itu seharga Rp350.000. BUMN farmasi tak mau ketinggalan. Mereka menyediakan rapid test seharga Rp199.000.
Dugaan komersialisasi rapid test pun menyeruak belakangan.
Sejumlah Advokat dalam Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia mendesak Pemerintah dalam hal ini Kemenkes untuk bertindak tegas terhadap komersialisasi tes COVID-19. Mereka pun menyurati kemenkes agar melakukan pengawasan.
"Pengawasan ini penting dan harus dilakukan sesuai perintah undang-undang berdasarkan pasal 14, 15, 16 Undang-Undang 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan cara mengawasi dan berkordinasi kepada beberapa rumah sakit yang mengkomersilkan biaya rapid test dan swab test tersebut." ujar perwakilan Tim Advokasi, Fernando, kepada era.id, Senin (6/7/2020).
Adanya praktik komersialisasi dari pihak rumah sakit terhadap masyarakat atau pasien berpotensi merugikan masyarakat secara ekonomi, maka pemerintah harus tegas menyikapi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan.
Ombudsman juga mengendus dugaan komersialisasi rapid test karena masyarakat semakin butuh untuk melakukan aktivitasnya lagi setelah new normal.
"Rapid test yang belakang terdapat indikasi komersialisasi. Dari mana, karena memang ini bisa jadi faktor hukum ekonomi yang bekerja. Awal barangnya langka dan jadi mahal," ujar Wakil Ketua Ombudsman Lely Pelitasari Soebekty pada diskusi, Sabtu (4/7).
Beberapa contoh faktor potensi terjadi komersialisasi rapid test diantaranya seperti hasil rapid test yang digunakan untuk surat bepergian menggunakan pesawat atau kapal laut. Kemudian sejumlah rumah sakit di Jakarta juga mensyaratkan orang yang akan rawat jalan atau rawat inap harus lolos rapid test dan rontgen paru.
"Maka saya kira, protokol ini saya kira ada yang berbeda dari protokol lain. Jadi penting adanya standarisasi layanan biaya, prosedur, protokolnya sampai SOP yang mengaturnya. Agar tidak mengikuti mekanisme pasar," sambungnya.
Selain itu, Ombudsman menilai, standarisasi layanan rapid test baik dari segi biaya maupun regulasi harus dibuat Pemerintah. Agar bisa mengintervensi kondisi luar biasa seperti saat ini.
"Ya pemerintah negara harus hadir intervensi di sektor itu, terlebih ini sudah extraordinary ya," ujarnya.