Dalam pasal tersebut dijelaskan, DPR bisa menyandera badan hukum atau warga masyarakat selama 30 hari bila tidak hadir setelah tiga kali panggilan setelah berkoordinasi dengan polisi.
Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mengatakan, di beberapa negara, lembaga parlemen diberikan kewenangan pemanggilan paksa. Karenanya, pasal tersebut menjadi wajar diterapkan di Indonesia.
Namun, politikus PDI Perjuangan ini membantah ketika dikatakan aturan tersebut memunculkan tindakan arogansi dan otoriter dari badan legislatif itu.
"Ya di negara mana juga kewenangan parlemen karena dia adalah representasi perwakilan rakyat, maka dia diberi kewenangan untuk melakukan pemanggilan siapapun. Karena prinsip mekanisme kontrol adanya di DPR sebagai representasi rakyat yang dipilih melalui pemilu," kata Masinton di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (9/2/2018).
Dengan aturan ini, DPR bisa memanggil paksa siapapun, termasuk pejabat KPK.
"Ya terhadap siapapun," kata politikus PDIP itu.
Namun, ada beberapa lembaga yang tidak bisa dipanggil paksa. Masinton mengatakan, mereka adalah duta besar asing yang berada di Indonesia.
"Setiap orang itu kalau duta besar kan dia punya ini sendiri, berlaku hukum di negaranya bukan kita," tuturnya.
Usulan ini muncul karena KPK
Anggota Komisi XI DPR Johnny G Plate tidak menampik, kemunculan pasal tersebut merupakan buntut dari sikap KPK yang menolak panggilan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR untuk KPK.
"Isu ini kan muncul pada saat KPK tidak bisa menghadiri (panggilan KPK), lalu ada isu KPU. Tapi yang mencolok karena KPK, karena masalah KPK," kata Johnny.
"Yang menjadi pertanyaan, mengapa pada saat DPR memanggil tidak mau datang. Ya kalau dengan senang hati datang, tentu tidak perlu ada panggilan paksa. Sama seperti kalau dipanggil aparat hukum," tambah politikus Nasdem ini.