Pelarian Novanto Terpengaruh Sinetron?
Pelarian Novanto Terpengaruh Sinetron?

Pelarian Novanto Terpengaruh Sinetron?

By Yudhistira Dwi Putra | 09 Feb 2018 18:27
Jakarta, era.id - Dakwaan atas nama pengacara berkumis tebal, Fredrich Yunadi, sudah dibacakan kemarin, Kamis (9/2/2018). Dalam surat dakwaan, jaksa penuntun umum (JPU) membedah skenario pelarian Novanto dari jerat hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Skenario itu dimulai pada 31 Oktober 2017, ketika KPK menerbitkan surat perintah penyidikan atas nama Setya Novanto untuk kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP, berlanjut pada rangkaian pemanggilan yang tak pernah dipenuhi Novanto, hingga insiden menabrak tiang listrik yang menjaring perhatian masyarakat.

Dalam dakwaan JPU, Fredrich disebut sebagai otak di balik rekayasa kecelakaan, dan Novanto sukses memainkan setiap adegan dengan baik.

Secara umum, apa yang dilakukan Novanto dan Fredrich sejatinya merefleksikan kondisi sosial masyarakat Indonesia yang begitu dekat dengan hal-hal berbau drama.

Berdasarkan hasil riset Nielsen tahun 2012 yang mengungkap bahwa rata-rata responden menonton televisi 4,5 jam per hari, 197 jam dalam setahun, dan 24 persennya menonton sinetron.

Menurut sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), AB Widyanta, paparan sinetron yang terus menerus akan memengaruhi perilaku masyarakat. Secara tak langsung, kata dia, nampak berkorelasi dengan sikap penuh drama Novanto dan Fredrich.

“Kalau sinetronnya itu berkualitas baik, cara pandang masyarakat juga akan baik. Tetapi kalau perangai ataupun adegan-adegannya sangat slapstick, itu pasti masyarakat akan meniru,” terang Widyanta saat dihubungi era.id, Jumat (9/2/2018).

Novanto Mewek

Air mata tak dapat dibendung dari kedua mata Setya Novanto. Tak hanya Novanto yang menangis, istrinya, Deisti Astriani Tagor, bersama para kerabat yang hadir di persidangan juga terlihat menangis.

“Yang Mulia, pertama-tama saya menyampaikan permohonan maaf saya, tulus dari hati saya. Kepada Yang Mulia Majelis Hakim, kepada seluruh pengunjung sidang, kepada seluruh masyarakat Indonesia, yang mana dalam proses persidangan ini ada tingkah laku dan perbuatan saya telah mengganggu proses persidangan ini, baik langsung maupun tidak langsung, mohon dimaafkan,” kata Setya Novanto dengan suara parau, Kamis (22/3/2018).

Novanto juga menyebut bahwa dirinya telah melakukan pengembalian uang sebesar Rp5 miliar ke rekening milik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibayarkan oleh istrinya.

“Saya lakukan itu sebagai pertanggungjawaban saya,” jelas Novanto.

(Infografis: era.id)

Ilmu psikologi

Senada dengan Widyanta, psikolog UGM, Faturochman, menilai secara tidak langsung Novanto dan Fredrich menggambarkan dampak paparan sinetron.

“Memang ada proses belajar dari tayangan. Kalau by intention, dengan perhatian, orang itu jadi mencermati, orang jadi belajar. Tapi kalau sambil lalu, artinya dia belajarnya tidak intens. Yang intens itu tergantung motivasinya,” kata Faturochman.

Dari ilmu psikologi, tayangan sinetron tak akan begitu saja memengaruhi orang-orang dengan kondisi yang stabil. Artinya, kondisi psikologis Novanto yang tertekan oleh jerat kasus bisa saja jadi faktor yang menyebabkan Novanto dan Fredrich begitu 'drama'.

Menurut dia, perilaku Novanto dan komplotannya itu juga merupakan bagian dari kebiasaan dia berpolitik. Kebiasaan tadi, sambung Faturochman, juga didasari dari karakteristik kepribadian Novanto dan kawanannya.

Lebih jauh, Faturochman mendukung langkah KPK memperkarakan Fredrich. Menurut Faturochman, drama yang dipertontonkan Fredrich dan Novanto dapat memicu kejadian serupa kemudian hari.

“Kenapa kemudian KPK menangkap mantan pengacaranya (Setya Novanto) itu adalah untuk menutup orang tidak mencontoh karena harus pada level objektif, jangan pada berupura-pura."

Rekomendasi
Tutup