Setiap kota pada masa pemerintahan Dinasti Malla di Kathmandu Valley, Nepal harus memiliki seorang Kumari. Selama berabad-abad masyarakat Nepal di Kathmandu memuja Kumari.
Dikutip dari BBC pada Sabtu (11/7/2020), sosoknya disembah oleh umat Hindu dan Buddha di Nepal. Dia diyakini reinkarnasi dewi kebijaksanaan dan simbol kekuasaan. Dewi Kumari diangkat sejak kecil. Anak-anak perempuan yang menjadi Kumari umumnya berusia mulai dari dua tahun.
Dewi Kumari (Foto: Flickr/Ramakrishna Math and Ramakrishna Mission)
Bukan hanya masyarakat biasa, pemimpin dari berbagai negara juga datang beribadah untuk memujanya sembari meminta restu saat hendak membuat peraturan baru.
Sosoknya digambarkan sebagai sosok perempuan yang memiliki tiga mata, dua di sisi kiri dan kanan, dan satu lagi di tengah keningnya.
Masa hidup menjadi Kumari nantinya akan berhenti begitu saja, setelah mengalami menstruasi. Ketika para Kumari mengalami pubertas, maka para pemuka menggantinya dengan anak perempuan lain.
Masyarakat Nepal percaya bahwa kesucian dan kemurnian Kumari akan berakhir, setelah anak perempuan itu mengalami pendarahan pertama. Hal ini dikarenakan sejarah Dewi Taleju yang meninggalkan tubuh Kumari di hari menstruasi pertamanya. Kumari pun berubah kembali jadi manusia biasa.
Cara pemilihannya terbilang unik, anak-anak perempuan yang masih batita, dikumpulkan dalam kamar gelap dan disuruh untuk berdoa. Selanjutnya, para pemuka akan mencari pertanda yang disebut sebagai Battis Lakshanas atau 39 ciri kesempurnaan fisik.
Kategori yang dicari dari anak-anak perempuan untuk jadi Kumari adalah paha seperti paha rusa, dada bidang bak singa. Selain itu, bulu mata yang dimiliki harus mirip sapi. Nantinya, Kumari yang terpilih juga tidak boleh memiliki noda atau bekas luka dalam tubuhnya.
Demi menjaga kesucian, calon yang menjadi interpretasi sang dewi, kaki Kumari tidak boleh menyentuh tanah sedikit pun. Selain itu, Kumari tidak boleh berbicara terhadap orang lain, terutama orang asing.
Kumari hanya diperbolehkan berbicara dengan keluarga intinya saja. Sebagai Kumari, ia juga tidak boleh meninggalkan singgasananya. Mereka selalu diam di tempat duduknya saat orang-orang berdatangan untuk beribadah.
Setiap hari sebelum jam 7 pagi, Kumari harus berpakaian dan mengenakan pakaian khusus dengan bantuan pengikutnya. Jam 9 pagi dia duduk di takhta emas dan menerima penyembahan umar. Mulai dari jam 12 sampai 4 sore.
Cara agar Kumari keluar dari candinya adalah ketika penduduk Nepal merayakan festival keagamaan. Salah satunya adalah festival ternama 'Bhotto Jatra' di Nepal. Festival ini akan berlangsung selama sebulan, karena dipercaya bisa mendatangkan hujan dan belas kasih dari Tuhan.
Dewi Kumari (Foto: Flickr/socialtours nepal)
Kumari akan datang menggunakan kereta kencan yang berbentuk tandu emas. Tandu dibawa oleh para pria yang diarak menuju tempat festivasal berlangsung. Di dalam tandu, Kamari duduk sambil melihat kerumunan penduduk yang memujanya.
Setelah berdoa, mereka akan meninggalkan persembahan di nampan yang jadi tempat menapaknya kaki Kumari. Persambahan berupa uang, baik kertas atau logam. Kumari jadi tradisi turun-temurun yang bukan hanya dipercaya, tetapi juga dijaga keberadaannya oleh setiap kelompok masyarakat Nepal.
Namun, tradisi Kumari ditentang dari aktivis pemerhati perempuan dan anak-anak. Para aktivis menyayangkan masa kanak-kanak yang menjadi Kumari tidak bisa menikmati layaknya anak perempuan pada umumnya.