Akting Sakit Terdakwa Memalukan Diri Sendiri

| 10 Feb 2018 15:06
Akting Sakit Terdakwa Memalukan Diri Sendiri
Grafis era.id
Jakarta, era.id – Kecelakaan yang dialami Setya Novanto pada 16 November 2017 ternyata rekayasa. Hal itu terungkap berdasarkan dakwaan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang kasus perintangan penyidikan, dengan terdakwa Fredrich Yunadi .

Di balik drama itu, Fredrich, yang merupakan mantan kuasa hukum Novanto dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP berperan menyiapkan skenario mangkirnya Novanto dari panggilan penyidik KPK. Jaksa KPK membacakan surat dakwaan dalam sidang perdana Fredrich di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (8/2/2018).

Sebelumnya, Novanto pernah juga mengaku sakit saat akan diperiksa sebagai saksi untuk terdakwa Andi Narogong terkait kasus korupsi e-KTP pada Juli 2017. Saat itu Novanto disebut mengalami vertigo sehingga tak dapat hadir memenuhi panggilan pemeriksaan.

Selang dua bulan, pada September 2017, Novanto kembali dipanggil untuk diperiksa lagi terkait korupsi proyek e-KTP. Namun, kala itu, dia diperiksa sebagai tersangka dan kembali mangkir dari pemeriksaan lantaran mengaku mendadak sakit gangguan fungsi ginjal dan jantung, serta gula darahnya naik.

Fenomena mendadak sakit ketika akan diperiksa ini, tak hanya terjadi pada Setya Novanto, tetapi juga banyak politikus lainnya. Sebut saja Miryam S Haryani, politikus Partai Hanura yang tiba-tiba mengaku kelelahan dan mangkir dari pemeriksaan KPK pada 18 April 2017. 

Menurut psikolog Tika Bisono, fenomena politikus mendadak sakit saat berhadapan dengan hukum, dalam ilmu psikologi disebut dengan non compliance, atau tak ada kepatuhan terhadap hukum.

“Tidak sadar hukum, dan hal itu (tidak sadar hukum) bisa datang dari diri sendiri bisa dari orang lain,” jelas Tika kepada era.id, Sabtu (10/2/2018).

“Secara psikologi ya non compliance, jadi dia nggak ada kepatuhan,” sambungnya.

Tika melanjutkan, fenomena ini kemungkinan besar datang dari proses kehidupan orang itu sejak kecil. Pasalnya, selama bertumbuh, manusia pada umumnya pernah atau bahkan sering kali berkelit di balik suatu alasan untuk menghindari tugas atau kewajiban tertentu.

“Kita pengin mencoba, kalau melanggar konsekuensinya seperti apa? Kalau dihukum kayak apa sih? Kalau dirugikan seberapa banyak sih? Ini kan belajar sejak kecil,” Tika menjelaskan.

Proses tersebut, menurut Tika, berlangsung sejak kecil. Secara biologis, sejak usia dini manusia belajar untuk meniru hal baik maupun hal jelek. Lepas dari tahap meniru itu, manusia akan memasuki tahap operasional konkret hingga mampu mengkonstruksi diri sendiri.

“Jadi enggak lagi niru atau disuruh, tapi kita mengkonstruksi diri sendiri. Kemampuan untuk self construction itu kan harus ada cantolan. Kita mengkonstruksi diri itu terhadap apa sih? Terhadap norma, regulasi, etika, ada agama, ada moralitas,” ujar Tika.

Kemampuan konstruksi diri itulah yang menurut Tika kemudian akan membentuk kepribadian dan mental seseorang hingga dewasa.

“Kalau melanggar hukum, itu ranahnya memang dari kecil memang enggak pernah taat aturan, enggak pernah menghormati aturan. Bahkan dia enggak pernah menghormati dirinya sendiri karena dia meletakkan dirinya selalu sebagai pelanggar aturan,” ucapnya.

Ketika kemudian seseorang meletakkan dirinya sebagai pelanggar aturan secara terus-meneurs,  menurut Tika, justru hal itu akan membawa dampak buruk tidak hanya pada pelanggar itu sendiri, tetapi juga orang di sekitarnya.

“Satu, jadi kejaran orang-orang, dua diomongin orang-orang, ketiga memalukan orang tua, dan sebagainya, kan intinya jadi tidak bermartabat. Intinya kalau masih ada rasa bersalah saja itu masih bagus, enggak akan diulangi lagi,” tandasnya.