Berdasar studi Bank Dunia, kelas menengah di Indonesia adalah masyarakat yang menghabiskan uang sekitar Rp500 ribu hingga Rp2 juta setiap harinya.
Dan jika merujuk data Badan Narkotika Nasional (BNN), empat juta masyarakat Indonesia di rentang usia produktif --10 sampai 59 tahun-- adalah pengguna narkoba.
Data lain yang dimiliki BNN juga menunjukkan bahwa 1,9 persen masyarakat Indonesia adalah pelajar dan mahasiswa. Artinya dua dari seratus pelajar dan mahasiswa adalah pengguna narkoba.
Dengan kondisi demografis seperti itu, tak heran jika Indonesia jadi sasaran peredaran narkoba. Dan besarnya angka milenial dan penduduk usia produktif, sangat potensial untuk dijadikan sasaran proxy war, sebagaimana diungkap Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian.
"Ini membuktikan keberhasilan, tapi membuktikan kalau Indonesia adalah market point. Bukan transit point lagi. Membesarnya kelas menengah Indonesia dan lebarnya wilayah Indonesia menjadi salah satu faktor," kata Tito.
Selain 239,875 kg sabu, polisi juga menyita 30 ribu butir ekstasi dan 12 mesin cuci yang dijadikan kamuflase dalam penyelundupan yang dilakukan oleh Lim Toh Hing alias Onglay, Marvin Tandiono alias Joni, Liu Kim Liong alias Andi dan Indrawan alias Alun.
Penyelamatan generasi berbasis rehabilitasi
Selain melakukan pencegahan lewat penegakan hukum, Tito berjanji mempersiapkan langkah rehabilitasi bagi para pengguna narkoba. Semangat Tito jadi pertanda baik dalam upaya penyelamatan generasi bangsa.
Sebab, rehabilitasi diyakini sebagai langkah tepat untuk memulihkan kondisi para pengguna narkoba, ketimbang penjara yang justru kerap menjerumuskan para pengguna narkoba lebih dalam ke dunia narkoba.
Sesuai konsep papas demand yang dimiliki polisi, langkah rehabilitasi dipercaya dapat menekan tingginya minat beli narkoba di dalam negeri. Dengan menekan angka permintaan, polisi yakin angka supply juga akan berkurang.
"Mencegah agar supply tidak membanjiri. Kita siapkan rehabilitasi agar pecandu ini tidak kembali lagi menjadi potensial buyer," kata Tito.