"Kepolisian sebagai lembaga eksekutif melaksanakan UU yang ada. Namun kita harus menyelaraskan aturan yang menyertai Polri. Ada UU 2 Tahun 2002 dan KUHAP yang jadi dasar hukum acara," ucap Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri, Kombes Martinus Sitompul di PTIK, Rabu (14/2/2107).
Meski diwajibkan untuk menjemput paksa orang ketika diminta DPR, pasal 73 UU MD3 belum mengatur tata cara pemanggilannya. Sedangkan pemanggilan paksa yang diatur KUHAP terbatas untuk kepentingan penegakkan hukum saja.
"Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya," bunyi Pasal 112 ayat (2) KUHAP.
"Karenanya, dari hasil kajian internal akan ditentukan sikap. Apakah UU MD3 ini memiliki satu hal yang berbenturan dengan aturan yang ada di kepolisian atau tidak," kata Martinus.
Tidak Dipikirkan Matang
Peneliti dari Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menilai pembahasan UU MD3 tidak dipikirkan secara matang lantaran pemanggilan paksa tadi tidak disinkronkan dengan KUHAP.
Angga menilai kontroversi tersebut bisa dihindari jika DPR dan pemerintah langsung merumuskan tata cara pemanggilan di UU MD3. Dengan ada landasan hukum yang jelas kebutuhan DPR dan Polri akan terpenuhi.
"Ya diatur lagi KUHAP-nya. Harusnya prosedur pemanggilannya diatur di UU MD3 aja sekalian. Kemarin kan maunya diatur Perkap (Peraturan Kapolri)," jelas Angga dihubungi era.id.
Menurutnya, DPR yang punya kewenangan pengawasan, memang berhak memanggil orang. Tapi itu hanya terbatas di orang-orang pemerintahan saja. Sedangkan, UU MD3 ini tidak mengatur siapa saja yang berhak dipanggil paksa DPR.
"Fokusnya berangkat dari fungsi kepada pengawasan parlemen kepada pemerintah. Enggak bisa saya dipanggil oleh DPR saya kan warga biasa," kata Angga.
Revisi UU MD3 awalnya dilakukan untuk menambah kursi pimpinan DPR, guna mengakomodasi PDI Perjuangan sebagai pemenang Pemilu 2014. Kursi pimpinan DPR pun disepakati ditambah, kemudian menyusul pimpinan MPR dan DPD. Rupanya, revisi tidak hanya untuk menambah kursi pimpinan lembaga di kompleks parlemen itu, tapi ada hal lain yang memperkuat posisi DPR.
Tiga kekuasaan yang termaktub dalam tiga pasal yakni tambahan Pasal 73 mengenai mekanisme pemanggilan paksa dengan bantuan polisi, tambahan Pasal 122 mengenai langkah hukum Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) kepada siapa pun yang merendahkan DPR dan anggota DPR, serta tambahan Pasal 245 pemanggilan dan permintaan keterangan penyidik kepada DPR harus mendapat persetujuan tertulis presiden dan pertimbangan MKD.