Presiden Joko Widodo, ternyata juga kaget dengan isi revisi UU tersebut ini. Bekas Gubernur DKI Jakarta ini pun masih belum mau menandatangani dan memilih mempelajarinya secara seksama.
"Jadi Presiden cukup kaget juga. Makanya saya jelaskan, masih menganalisis, dari apa yang disampaikan belum menandatangani dan kemungkinan tidak akan mendandatangani (UU MD3)," kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, kemarin, Selasa (21/2/2018).
Yasonna bercerita, Presiden Jokowi kaget karena baru mengetahui isi perubahan UU MD3 itu. Dia pun mengakui, selama ini tidak memberikan laporan perkembangan pembahasan undang-undang tersebut. Dia baru bisa memaparkannya di hadapan Presiden, kemarin.
Meski tanpa tanda tangan Jokowi, toh undang-undang itu tetap sah dan harus dilaksanakan. Tapi perlu menunggu waktu selama 30 hari setelah undang-undang itu disetujui DPR. Artinya, bila revisi itu disetujui pada 12 Februari, maka undang-undang tersebut akan berlaku pada pertengahan Maret, jika dihitung sesuai hari kerja.
"UU tanpa ditandatangani (presiden) kan sah sendiri, tapi apapun itu terserah bapak presiden," kata Yasonna.
DPR pun menanggapi santai perkara ini. Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan malah mengatakan, ini bukan kali pertama Presiden Jokowi tidak menandatangani usulan DPR. Salah satu yang diingat Taufik adalah soal Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP). Karenanya, masalah tanda tangan ini menurut dia jangan dibuat drama.
"Hal-hal itu tidak perlu didramatisir. Itu menjadi salah satu dinamika lah," kata dia.
Wakil Ketua Umum PAN itu menambahkan, pimpinan DPR akan segera menggelar rapat pimpinan untuk membahas sikap Presiden. Namun, rapat itu masih menunggu penjadwalan karena, kekinian, DPR sedang menjalani massa reses. DPR baru bisa bekerja pada 5 Maret nanti.
"Nanti pimpinan DPR akan melakukan rapat pimpinan bagaimana sikap dari pemerintah," ujar dia.
Revisi UU MD3 ini sempat mengejutkan. Di awal, revisi ini digarap hanya untuk menambah kursi pimpinan di DPR. Saat pembahasan berjalan, ternyata tidak hanya kursi DPR yang ditambah, tapi kursi pimpinan MPR juga. Belakangan, kursi pimpinan DPD ikut-ikutan ditambah. Hasilnya, ada penambahan satu kursi pimpinan DPR, tiga kursi pimpinan MPR, dan satu kursi pimpinan DPD.
Yang menarik, di balik itu semua, ada pasal yang direvisi terhadap hak dan kewenangan DPR. Ini membuat DPR memiliki kekuatan tambahan. Di antaranya, anggota DPR tidak bisa asal dipanggil penegak hukum, bisa melakukan pemanggilan paksa terhadap orang atau lembaga, dan bisa membawa ke ranah hukum bila ada yang merendahkan harkat dan martabat DPR.
(Infografis: era.id)