Kepala Kantor Bahasa Maluku, Asrif mengatakan, tanda-tanda kepunahan Bahasa Maluku sudah terlihat sejak zaman penjajahan. Saat itu, Maluku adalah wilayah di Indonesia yang paling banyak didatangi negara asing, Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, dan Jepang.
"Masuknya Portugis itu yang mewajibkan masyarakat berbahasa Melayu. Kemudian, saat Belanda menjajah, lebih mewajibkan lagi. Tujuannya itu adalah agar Belanda kepada lebih mudah mengontrol masyarakat," kata Asrif di Badan Bahasa, Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu (21/2/2018).
Dia pun mencatat, ada beberapa faktor yang membuat beberapa bahasa di Maluku pelan-pelan memudar.
Sistem pendidikan era kolonial
Asrif menerangkan, pada era kolonial, Belanda mewajibkan seluruh siswa untuk menggunakan Bahasa Melayu dalam bertutur dan kegiatan belajar-mengajar.
"Hampir semua sekolah di Maluku, pada masa belanda, tidak boleh menggunakan bahasa daerah. Untuk mempercepat proses pembelajaran Bahasa Melayu, guru akan menghukum anak yang ketahuan pakai bahasa daerah. Namun, sekarang sudah berkurang sejak munculnya prinsip HAM," jelasnya.
Dominasi pendatang
Penduduk yang bermigrasi ke Maluku sejak zaman penjajahan, kata Asrif, juga mampu menggeser posisi bahasa daerah dalam interaksi sosial sehari-hari. Ini pula yang membuat bahasa daerah pelan-pelan menyingkir.
"Sebanyak 60 persen orang Maluku saat ini adalah pendatang sejak masa Belanda. Hadirnya orang orang pendatang ini akan mengganggu ekosistem bahasa di suatu kampung dalam jumlah besar," tutur Asrif.
Kawin Campur
Asrif melanjutkan, perkawinan silang antarbudaya juga memengaruhi dominasi penggunaan bahasa daerah di semua wilayah, terutama Maluku. Apalagi, komitmen kebahasaan di Maluku yang rapuh membuat anak-anak tidak mempelajari bahasa daerah dengan baik.
"Fenomena kawin campur itu berdampak pada kesulitan pilihan bahasa pada anak. Maluku itu berada pada komitmen kebahasaan yang rapuh, sehingga kalau dicampur justru mempermulus ketidaktahuan anak mempelajari bahasa daerah," jelasnya
Sikap budaya
Ambon sering disebut-sebut sebagai Jakarta-nya Maluku. Kata Asrif, anak muda di Maluku beranggapan warga Ambon adalah masyarakat yang terkesan bergaya kota dan lebih modern. Sehingga, banyak yang menganggap bahasa daerah adalah kampungan.
"Dulu ada stereotip negatif terhadap pengguna bahasa daerah yang disebut sebagai orang belakang gunung atau kampungan atau tidak terpelajar. Karenanya, banyak anak yang menyembunyikan identitas asalnya dan menganggap bahwa dirinya warga Ambon," ungkap Asrif.
Oleh karena itu, Kantor Bahasa Maluku saat ini tengah gencar mengupayakan konservasi dan revitalisasi bahasa ke masyarakat dan penyusunan kamus dan tata bahasa ibu di Maluku.
(Infografis: era.id)