Saat itu, dua orang bersepeda motor menyiramkan air keras ke wajahnya. Rasa sakit luar biasa dirasakan Novel. Kata Novel, rasanya seperti bola mata dicabut secara paksa dari akarnya. Akibat penyiraman itu, kedua mata Novel nyaris buta.
Kini, sepuluh bulan sudah berlalu. Berbagai upaya medis telah dilakukan untuk menyelamatkan mata Novel, termasuk serangkaian operasi dan pengobatan di Singapura. Hasilnya, pelan-pelan, mata kanan Novel mulai pulih.
Beriringan dengan itu, desakan pada pemerintah untuk mengungkap kasus Novel juga makin besar. KPK, melalui Juru Bicara, Febri Diansyah mengatakan, mengungkap dalang di balik penyerangan Novel sangatlah penting. Serangan terhadap Novel, dimaknai KPK sebagai serangan terhadap upaya pemberantasan korupsi.
"Agar hal-hal seperti ini tidak terulang lagi, yang paling penting dilakukan adalah penyerang Novel ini ditemukan. Karena kalau pelakunya tidak ditemukan, bisa membuka risiko yang lebih besar terhadap pihak-pihak lain. Bukan hanya pegawai KPK, tapi seluruh pihak yang terlibat dalam pemberantasan korupsi," ucap Febri.
Hingga saat ini, polisi mengklaim telah memeriksa lebih dari 80 saksi terkait penyerangan Novel. Sketsa terduga pelaku pun telah disebar. Hotline juga diluncurkan agar polisi dapat menghimpun sebanyak mungkin laporan dan informasi. Namun, hasilnya tetap nihil.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Argo Yuwono yakin polisi akan mengungkap kasus penyerangan Novel, meski tak tahu kapan. Sebab Argo mengaku tak ada target waktu yang ditentukan untuk mengungkap kasus ini. Namun, Argo mengklaim, beberapa kemajuan telah dicapai oleh kepolisian.
"Yang penting kalau memang alat bukti cukup dan saksi-saksi lain cukup," tegasnya.
Desakan TGPF kembali muncul
Sementara itu, desakan untuk dibentuknya Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kembali disuarakan. Terkait itu, polisi mengaku tak gentar. Pembentukan TGPF, diyakini tak akan mengganggu proses pengungkapan kasus Novel.
"Polisi masih maju tak gentar menyelesaikan kasus ini," kata Argo.
Desakan pembentukan TGPF memang telah dilakukan sejak awal kasus ini bergulir, dan semakin besar seiring sikap pesimistis masyarakat yang melihat minimnya progres dari polisi dalam upaya pengungkapan kasus ini.
Bukan hanya pesimistis, kecurigaan terhadap institusi kepolisian juga muncul. Polisi disebut telah sengaja mengulur-ulur proses pengungkapan kasus Novel. Apalagi setelah pernyataan Novel yang menyebut ada seorang Jenderal Polisi yang terlibat dalam penyerangannya.
"Saya mendapat informasi bahwa ada seorang jenderal polisi --berpangkat tinggi-- terlibat. Awalnya saya katakan informasi itu tidak benar. Tapi sekarang setelah berjalan dua bulan dan kasus ini belum juga terpecahkan, saya bilang (kepada orang yang menduga polisi terlibat) bahwa rasanya informasi itu benar," ujar Novel kepada Majalah Time, Juni 2017.
Namun, hingga kini pemerintah tak juga menjawab desakan tersebut. Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM, Wiranto mentah-mentah menolak desakan pembentukan TGPF.
"Percayakan sajalah kepada penegak hukum. Tidak perlu terjadi (dibentuk) TGPF," ujar Wiranto di Kompleks Istana Presiden, Jakarta.
Sementara itu, mantan Ketua KPK, Abraham Samad mengatakan, tanpa TGPF, kebenaran tentang kasus Novel tak akan pernah terungkap. Pesimistis sudah begitu menguasai Abraham, dan mungkin jutaan orang lain yang menyimak perjalanan kasus ini.
"Sepuluh bulan itu tidak singkat, tapi lama. Waktu yang digunakan aparat untuk menyelesaikan kasus Novel. Tapi kita lihat, penyerang Novel belum juga ditemukan," kata Abraham di Gedung KPK, Kamis (22/2/2018).
Pesimistis publik terlanjur menyelimuti kasus Novel. Peran polisi sebagai penegak hukum jelas dipertanyakan. Seperti kata Abraham, sepuluh bulan bukan waktu sebentar untuk polisi membongkar kasus ini. Dan jelas, bukan juga waktu yang pendek untuk Novel, menunggu negara membayar 'utang' kepadanya.
Infografis (Retno Ayuningtyas/era.id)