Partai Islam Riwayatmu Kini atau Lainnya

| 03 Mar 2018 08:44
Partai Islam Riwayatmu Kini atau Lainnya
Jakarta, era.id - Partai Islam dalam perpolitikan Indonesia selalu memiliki daya tarik. Tapi elektabilitasnya kini stagnan meski 88 persen penduduk Indonesia pemeluk Islam.

Muhammad Hisyam, dalam bukunya yang berjudul Krisis Masa Kini dan Orde Baru, bercerita tentang jatuh bangunnya partai berbasis Islam karena dikebiri rezim yang pernah berkuasa.

Era Orde Baru misalnya, Hisyam menyebut terjadi depolitisasi terhadap partai Islam. Satu contohnya saat Partai Masyumi, partai berbasis Islam terbesar di Indonesia, dihalangi lahir kembali pada 1960-an.

“Usaha beberapa tokoh Islam untuk mengaktifkan Masyumi dilarang, ketakutan akan aksi PRRI dan dobrakan kekuatan Islam adalah alasan utama," kata Hisyam, dalam bukunya. 

Depolitisasi berlanjut dengan mengerucutkan suara politik umat Islam dalam satu partai, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Lonceng kematian partai Islam semakin nyata saat asas tunggal itu diberlakukan. Partai Islam makin tertekan, tak ada ruang untuk mengakomodasi kepentingan suara umat Islam, di parlemen, maupun eksekutif.

Setelah Orde Baru runtuh dan kekuatan politik Islam kembali berkembang, banyak partai baru yang hadir dengan membawa ideologi Islam. Walaupun tidak secara terang-terangan masuk ke ranah politik praktis, organisasi Islam besar di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah memiliki kemiripan pandangan dengan dua partai yang lahir dari rahim reformasi, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Selain itu, reformasi juga melahirkan beberapa partai dengan pandangan-pandangan lainnya. Seperti contoh, lahirnya Partai Keadilan, partai yang berasal dari embrio organisiasi Dewan Dakwah Islamiyah Indonesa (DDII) dan Jamaah Tarbiyah yang hadir dari organisasi mahasiswa semacam Rohis. Selain lahir pula Partai Bulan Bintang, sebuah partai yang lahir untuk mengembalikan semangat politik Masyumi.

Hidupnya semangat politik Islam pada saat itu ternyata tidak diikuti oleh kemampuan partai untuk meraup suara maksimal. Pada pemilu tahun 1999, 16 partai berideologi Islam ikut  kontestasi politik untuk mendapatkan kursi di DPR/MPR.

Tetapi hanya sembilan partai yang lolos untuk mendapatkan kursi di parlemen. Total suara partai Islam hanya 36,52% dari 105.786.661 jiwa. Pemilu tersebut melahirkan PPP, PAN, PKB, dan PBB sebagai representasi suara Islam dari parlemen.

Pada tahun 2004, terjadi kenaikan suara partai Islam walau tidak terlalu signifikan. Tujuh partai Islam yaitu PKB, PPP, PKS, PAN, PBR, PBB dan Partai Nahdlatul Ummah berhasil meraih 38,35% dari 113.462.414 jiwa pemilih. Tetapi suara partai Islam menjadi menguat setelah PKB mampu meraih tiga besar dalam pemilu tersebut dengan meraih 10,52%.

Pada tahun 2009, terjadi penurunan jumlah suara yang didapat partai Islam. Walaupun partai Islam peserta pemilu bertambah menjadi 9 partai, partai-partai tersebut hanya mendapat 29,16% persentase dari total pemilih yaitu 104.099.785 jiwa.

Begitupun yang terjadi pada Pemilu 2014, lima partai Islam yang mengikuti pemilu hanya mampu meraih 29,09% dari 124.972.491 jiwa pemilih.

Menguatnya politik identitas di Pemilu 2019?

Setelah Pemilu 2014 berakhir, berbagai peristiwa politik dengan corak agama menghiasi jalannya pemerintahan. Fenomena 212, penguatan nilai kesantrian, hingga gerakan-gerakan lainnya melahirkan penguatan nilai dari politik identitas.

Hal tersebut dibenarkan oleh pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno. Ia mengatakan bahwa populisme Islam dan politik identitas menguat, terutama pada masa pemerintahan Presiden Jokowi.

"Populisme Islam meningkat, masyarakat Islam semakin kuat dalam menyatakan aspirasinya," ujarnya.

Tetapi Adi tidak sepakat apabila gerakan masif tersebut berdampak bagi elektabilitas suara partai Islam secara keseluruhan.

"Kuatnya ormas Islam atau gerakan berbasis Islam akan sulit dimanfaatkan oleh partai Islam, rata-rata partai Islam tidak mampu merepresentasikan kepentingan tersebut, saat 212 hanya Gerindra dan PKS yang mampu memanfaatkan aspirasi untuk kebutuhan politiknya," tambah Adi.

Ketidakmampuan partai Islam dalam memanfaatkan momen dikarenakan partai Islam dilema dalam mengarahkan kepentingan politik yang sesuai.

"Di satu sisi, partai Islam memiliki isu moralitas yang diperjuangkan, akan tetapi masyarakat Islam juga lebih mementingkan isu mengenai kesejahteraan, ekonomi yang mampu ditangkap dengan baik oleh partai sekuler," ujarnya.

Selain kalah dari partai sekuler, partai Islam juga dihadapkan pada rendahnya elektabilitas untuk pemilu 2019. Tiga survei terbaru memperlihatkan bahwa elektabilitas partai Islam tidak ada yang di atas 7 persen.

Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada akhir Januari 2018 merilis hasil elektabilitas partai politik untuk kebutuhan pilkada serentak 2018 dan pemilu 2019. 

Partai Islam yang mampu meraih elektabilitas tertinggi yaitu PKB dengan persentase 6 persen, disusul PKS 3,8 persen, PPP 3,5 persen, dan PAN 2 persen. 

Saiful Mujani Research Center (SMRC) juga merilis elektabilitas parpol di akhir tahun 2017. Tidak berbeda jauh dengan LSI, SMRC merilisi data bahwa tidak ada satu pun partai Islam yang mampu meraih elektabilitas di atas 4 persen. Bahkan, PAN hanya mendapatkan elektabilitas 1,4 persen, jauh dari ambang batas suara di parlemen.

Terakhir adalah rilis yang dikeluarkan oleh Poltracking Indonesia di akhir bulan Februari. Suara yang didapatkan oleh masing masing partai yaitu PKB (6 persen), PKS (4,6 persen), PAN (3,6 persen), dan PPP (2,7 persen).

Adi menanggapi hal tersebut adalah bukti partai sekular masih menjadi pilihan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Islam. Tetapi bukan tidak mungkin bahwa proses politik yang terjadi hingga pemilu 2019 akan menjadi momen yang baik bagi partai Islam untuk kembali bangkit.

“Bukan tidak mungkin, populisme Islam menjadi komoditas partai politik dalam mendulang suara, dan membuat partai Islam akan berjaya pada gelaran pemilu mendatang,” tuturnya.

Kata PPP soal Partai Islam yang stagnan

Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PPP Achmad Baidowi mengatakan, fenomena partai Islam minim pemilih karena sistem politik demokrasi Indonesia yang terbuka.

"Semua masyarakat melihat semua partai pada posisi yang sama. Mau partai a mau partai b di mata masyarakat kaitannya dengan politik," kata Baidowi.

Namun, itu tidak memutus asa PPP sebagai partai Islam tertua di Indonesia. Dia mengatakan, PPP memiliki perbedaan yang kentara dengan partai berbasis Islam lainnya. Ini yang membuat partai yang didirikan tahun 1973 itu memiliki pemilih yang konsisten.

"Bahwa identitas kita adalah partai islam, partai santri, partai yang menjadi pengawal aspirasi umat Islam sejak lahirnya 9x pemilu dan itu dibuktikan dengan kebijakan konkret tidak hanya klaim-klaim sebagai partai Islam," ujar dia.

Dia mencontohkan, PPP bukanlah partai Islam yang ke Indonesia sebagai partai Islam. Tapi, PPP adalah partai Islam yang hidup di Indonesia dengan kerangka besarnya Indonesia, yang di dalamnya ada agama lain.

"Bagi kami berpolitik bukan hanya soal kekuasaan tapi ada nilai untuk menyelaraskan ajaran-ajaran agama dan kehidupan sosial kemasyarakatan," kata Anggota Komisi II DPR ini.

Tags : pemilu
Rekomendasi