Pakar teknologi informasi dan media sosial, Nukman Luthfie, menangkap fenomena tersebut sebagai salah satu dampak penggunaan media sosial yang amat masif di lingkungan masyarakat.
“Intinya adalah itu bukan hal baru, itu sudah ada dalam kehidupan kita sehari-hari,” ujar Luthfie kepada era.id, Senin (5/3/2018).
Menurut Luthfie, situasi politik jelang pilkada dan pemilu turut memicu produksi hoaks semakin gencar. Prinsip produksi hoaks dalam ranah politik amatlah klasik. Tujuannya sudah pasti, untuk menjatuhkan lawan politik.
“Situasi politik yang membuat hoaks semakin banyak. Itu bisa dari yang anti-pemerintah, juga yang pro pemerintah,” pungkas Luthfie.
Karenanya, Luthfie berharap pemerintah bertindak tegas kepada siapapun pihak yang menyebarkan hoaks. Menyiapkan landasan hukum yang tegas, jauh dari bayang keabu-abuan amat penting untuk menyikapi sebaran hoaks ini.
Luthfie juga mengimbau agar pemerintah dapat mengedukasi masyarakat semakin cerdas dalam menghadapi derasnya sebaran hoaks. “Bikin peraturannya, penegakan hukum secara adil, edukasi masyarakat, agar media terbebas dari hoaks,” kata Luthfie.
Peran media massa
Tak hanya pemerintah. Luthfie berharap media massa mainstream memainkan peran lebih vital untuk melawan sebaran hoaks. Dengan kekuatan yang dimiliki media mainstream, sebaran kebohongan harusnya dapat dilawan.
Karenanya, Luthfie mengingatkan agar seluruh media massa mengedepankan kredibilitasnya. Menjunjung tinggi prinsip verifikasi dan klarifikasi.
Dan untuk memastikan agenda melawan hoaks lewat media massa kredibel tercapai, pemerintah, dikatakan Luthfie, wajib menggandeng Dewan Pers.
Terminologi hoaks (Infografis: Rahmad Bagus/era.id)